Twitter Facebook MySpace YouTube RSS Feed

Pemertahanan Bahasa Bajo di Lombok Tengah

Peneliti : Rahutami, M.Hum dan Ramadhan

1.1 Latar Belakang
Pulau Lombok merupakan pulau yang mayoritas dihuni oleh suku Sasak. Suku ini menggunakan bahasa Sasak sebagai bahasa ibu. Suku lain yang menghuni tempat ini adalah suku Jawa, Tionghoa, Arab, Bali, dan Bajo
Suku Bajo merupakan etnis yang berasal dari Sulawesi. Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Bajo. Menurut kepala suku Bajo, masyarakat Bajo bermigrasi ke Lombok Tengah sekitar lima abad yang lalu. Mereka menempati wilayah dusun Awang, desa Mertak, kecamatan Pujut, kabupaten Lombok Tengah dan Tanjung Luar di wilayah Lombok Timur
Suku Bajo yang berada di Lombok Tengah mempunyai perbedaan kebiasaan dibanding dengan masyarakat Bajo di daerah asalnya. Disebutkan dalam buku Orang Bajo yang ditulis oleh Franqois Robert Zacot, seorang antropolog dari Prancis, bahwa kehidupan suku Bajo (di Sulawesi) kehidupannya berada di laut. Mereka menjadikan perahu sebagai tempat tinggal dan ada pula yang membangun rumah panggung di atas laut. Dengan demikian mereka menyebut dirinya sebagai sebagai orang laut (www.kabaena.forumplatinum.com). Begitu lekatnya kehidupan laut dengan mereka, sampai-sampai mereka tidak mau berhubungan dengan segala sesuatu yang ada di daratan. Mereka tidak mau makan daging unggas sebagai pernyataan ketidakmauannya menyesuaikan diri dengan cara-cara hidup orang daratan.
Hal tersebut tidak ditemukan di masyarakat Bajo di Lombok Tengah yang menjadi subjek penelitian ini. Mereka justru memilih berbaur dengan masyarakat setempat, yakni masyarakat suku Sasak. Mereka tinggal dengan masyarakat suku Sasak dalam satu wilayah. Membangun rumah di dekat permukiman suku Sasak. Hanya saja sebagian besar model rumahnya masih menggunakan arsitektur rumah panggung, sebagian yang lain menggunakan arsitektur biasa. Ini bukan karena keinginannya, tetapi karena harga kayu yang mahal. Secara geografis, tidak ditemukan batas pemisah antara kampung suku Bajo dengan kampung suku Sasak. Mereka hidup berdampingan dalam satu pemukiman.
Suku Sasak sebagai suku asli menerima dengan baik kedatangan suku Bajo. Pada akhirnya antara dua suku yang berbeda tersebut terjadi interaksi dalam kehidupan sehari-harinya. Uniknya, bahasa pengantar antara dua suku tersebut bukan bahasa Sasak sebagai bahasa lokal dan bukan pula bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional, tetapi mereka memilih menggunakan bahasa Bajo yang statusnya sebagai bahasa pendatang.
Hal ini merupakan hal yang unik. Pada umumnya pihak pendatang berusaha mendekati suku asli dengan kesediaan menggunakan bahasa suku asli. Dengan demikian tentunya hal ini menarik untuk dikaji. Apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Bagaimana upaya yang dilakukan oleh suku Bajo terkait dengan penggunaan bahasa Bajo? Pertanyaan tersebut menarik peneliti untuk melakukan penelitian bahasa Bajo di Lombok Tengah.
Peristiwa penggunaan bahasa pendatang sebagai bahasa pengantar dalam interaksi antar dua-kelompok, yakni masyarakat lokal dan masyarakat pendatang adalah fenomena pemertahanan dan pergeseran bahasa. Pemertahanan bahasa adalah upaya yang disengaja oleh suatu masyarakat bahasa untuk mempertahankan penggunaan bahasa tertentu di tengah “ancaman” bahasa yang lain (jurnal Dadardana). Sebaliknya pergeseran bahasa adalah kondisi penempatan suatu bahasa menjadi lebih penting dari bahasa yang dikuasai pengguna (jurnal Safriandi). Berdasarkan defenisi tersebut, maka bahasa Bajo adalah bahasa yang bertahan, sedangkan bahasa Sasak adalah bahasa yang bergeser.
Peneliti memfokuskan penelitian pada pemertahanan Bahasa Bajo, sebab dilihat dari segi populasi masyarakat Bajo tidak terlalu banyak jumlah jiwanya (300 KK) tapi mampu eksis di atas masyarakat lokal yang populasinya mendominan. Selain itu, penelitian terhadap bahasa Bajo di Lombok Tengah belum pernah dilakukan dan belum tercatat pada daftar bahasa di Lombok. Sementara bahasa Bajo yang di Lombok Barat dan Lombok Timur sudah ada yang meneliti dan terdaftar di Pusat Bahasa NTB (pusat bahasa NTB). Hal ini juga memotivasi peneliti untuk meneliti dalam upaya pendokumentasian bahasa Bajo sebagai salah satu bahasa yang digunakan di Lombok.

2. Masalah
2.1 Rentang Masalah
Tiga masalah dasar dalam pemertahanan bahasa yaitu (1) upaya masyarakat dalam mempertahankan bahasanya (2) bentuk bahasa yang dipertahankan dan (3) wujud pemertahanan bahasa. Bagian pertama memfokuskan penelitian pada usaha yang dilakukan oleh masyarakat bahasa dalam mempertahankan bahasanya. Bagian kedua memfokuskan penelitian terhadap satuan bahasa yang dipertahankan, satuan bahasa mencakup fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana. Bagian ketiga memfokuskan penelitian pada kondisi atau keadaan yang sedang berlangsung pada suatu masyarakat bahasa yang sedang mempertahankan bahasanya.

2.2 Batasan Masalah
Berdasarkan rentang masalah di atas, peneliti memfokuskan penelitiannya pada aspek yang pertama, yaitu upaya masyarakat bahasa dalam mempertahankan bahasanya. Dalam hal ini upaya masyarakat Bajo dalam mempertahankan bahasa Bajo di tengah-tengah komunitas suku Sasak yang berbahasa Sasak.
Pertimbangan dalam mengambil batasan ini adalah bahwa masyarakat bahasa yang menduduki posisi minoritas, Suku Bajo, mampu eksis atau bertahan terhadap masyarakat mayoritas. Padahal, pada umumnya masyarakat pendatang berusaha menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat setempat agar mereka bisa diterima dengan baik. Itu artinya, masyarakat pendatang harus rela meninggalkan budaya dan bahasanya supaya dapat menyesuaikan diri dengan mayarakat yang dia masukinya. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan bergeser bahkan musnahnya suatu bahasa.
Kasus semacam di atas justru berbalik dengan keadaan masyarakat Bajo di dusun Awang, desa Mertak, kecamatan Pujut, kabupaten Lombok Tengah, mereka mampu mempertahankan budaya dan bahasanya di tanah orang lain.

2.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka penelitian ini bermaksud menjawab pertanyaan tentang upaya masyarakat Bajo dalam mempertahankan bahasanya di Dusun Awang Desa Mertak Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah.

2.3 Penegasan Istilah
1) Pemertahanan bahasa: penggunaan bahasa tertentu oleh masyarakat tuturnya dan diturunkan kepada generasi berikutnya secara berkelanjutan di antara penggunaan bahasa-bahasa lain di suatu wilayah tutur (jurnal Arka).
2) Bahasa Bajo: bahasa daerah yang dipakai oleh masyarakat suku Bajo di dusun Awang Desa Mertak Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah Propinsi Nusa Tenggara Barat.
3) Upaya: segala sesuatu yang dilakukan untuk menjaga keberlangsungan penggunaan bahasa Bajo


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Profil Dusun Awang
Dusun awang merupakan wilayah masyarakat yang berada di sebelah selatan kabupatan Lombok. Pulau Lombok adalah sebuah pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelat barat dan Selat Alas di sebelah timur dari Sumbawa. Pulau ini kurang lebih berbentuk bulat dengan semacam "ekor" di sisi barat daya yang panjangnya kurang lebih 70 km. Luas pulau ini mencapai 5.435 km², menempatkannya pada peringkat 108 dari daftar pulau berdasarkan luasnya di dunia. Kota utama di pulau ini adalah Kota Mataram
Pulau Lombok terdiri atas 3 kabupaten yakni, kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur. Kabupaten Lombok Tengah terletak pada posisi 82° 7' - 8° 30' Lintang Selatan dan 116° 10' - 116° 30' Bujur Timur, membujur mulai dari kaki Gunung Rinjani di sebelah Utara hingga ke pesisir pantai Kuta di sebelah selatan dengan beberapa pulau kecil yang ada di sekitarnya. Lombok Tengah beribukota Praya. Luas kabupaten ini  adalah 1.208,39 km² dengan populasi sebanyak 745.433 jiwa.
Wilayah Lombok Tengah yang membujur dari utara ke selatan tersebut mempunyai letak dan ketinggian yang bervariasi mulai dari nol (0) hingga 2000 meter dari permukaan laut. Wilayahnya berupa dataran rendah dan wilayah selatan tampak perbukitan yang langsung berbatasan dengan pantai.Secara garis besar topografi masih mirip dengan kabupaten lain di pulau Lombok.
Sebagian wilayah Kabupaten Lombok Tengah merupakan areal pertanian, maka sebagian besar penduduknya hidup sebagai petani. Secara keseluruhan, persentase pembagian penduduk di Kabupaten Lombok Tengah dari segi mata pencaharian adalah: pertanian 72%, industri 7%, jasa 7%, perdagangan 7%, angkutan 3%, konstruksi 2% dan lainnya 2%.
Sekitar 80% penduduk pulau ini adalah suku Sasak, sebuah suku bangsa yang masih dekat dengan suku bangsa Bali, tetapi sebagian besar memeluk agama Islam. Selebihnya bersuku Bali, Jawa, Tionghoa dan Arab.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang digunakan dalam situasi resmi. Selain itu, penduduk pulau Lombok (terutama suku Sasak), menggunakan bahasa Sasak sebagai bahasa utama dalam percakapan sehari-hari. Di seluruh Lombok sendiri bahasa Sasak dapat dijumpai dalam empat macam dialek yang berbeda yakni dialek Lombok utara , tengah, timur laut dan tenggara. Selain itu dengan banyaknya penduduk suku Bali yang berdiam di Lombok (sebagian besar berasal dari eks Kerajaan Karangasem), di beberapa tempat terutama di Lombok Barat dan Kotamadya Mataram dapat dijumpai perkampungan yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa percakapan sehari-hari. Dalam dokumen yang ada tidak banyak disebut tentang bahasa Bajo yang digunakan oleh masyarakat tutur di wilayah Desa Mertak Kecamatan Pujut maupun yang terdapat di Tanjung Luar kabupaten Lombok Timur.
Wilayah di kabupaten Lombok Tengah yang ditempati oleh penduduk beretnis Bajo terdapat di wilayah Dusun Awang, khususnya dusun Awang Balak. Dalam wilayah ini terdapat juga penduduk beretnis Sasak, yakni Awang Kebon.
Luas dusun Awang Balak kurang lebih 7,5 Ha. Wilayahnya berbatasan dengan Kampung Asam di sebelah utara; gunung di sebelah selatan; Awang Kebun di sebelah barat; dan laut di sebelah timur. Dusun ini merupakan daerah pantai, sehingga mayoritas pekerjaan penduduk adalah nelayan (85%) dan pedagang (15%).
Jumlah penduduknya kurang lebih 1060 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga 367 KK. Secara detil dapat dipaparkan karakteristik penduduk adalah lebih kurang 20 orang lansia, orang tua sejumlah 500 orang, dewasa sejumlah 200 orang, remaja sejumlah 150 orang dan anak-anak sejumlah 190 orang. Sementara karakteristik di masyarakat Bajo adalah 357 KK, dengan rincian: Lansia sejumlah 20 orang, orang tua sejumlah 489 orang, dewasa sejumlah 199 orang, remaja sejumlah 143 orang, dan anak-anak sejumlah 179 orang.
Salah satu budaya yang khas di daerah ini adalah upacara selamatan laut (nyelama’). Kegiatan tersebut  merupakan perwujudan dari kepatuhan terhadap tradisi leluhur suku Bajo di wilayah tersebut. Kegiatan ini dilakukan sebagai bentuk syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa  menjelang masa panen ikan segera dimulai atau dilakukan apabila mengalami kesusahan atau paceklik yang digunakan untuk menghilangkan musibah berkepanjangan. Kegiatan tersebut kembali dilakukan setelah kurang lebih 15 tahun dilakukan oleh penduduk dusun Awang Balak. Kegiatan tersebut dilakukan untuk melesatarikan kebudayaan sebagai aset potensi dan kekuatan yang luar biasa untuk menunjang kesejahteraan masyarakat setempat.

2.1.2 Suku Bajo
            Untuk memperjelas keberadaan tentang subjek penelitian, maka berikut dipaparkan tentang hal-hal yang terkait dengan keberadaan Suku Bajo

2.1.2.1 Sejarah Suku Bajo
Menurut Manan, Presiden Bajo (ketua Perkumpulan Bajo Internasional) orang dari Suku Bajo  tersebar di banyak tempat, baik di wilayah  di Indonesia, maupun wilayah dunia yang lain, misalnya Thailand. Salah keunikan orang Bajo, adalah bahwa mereka tetap melestarikan Bahasa Bajo sebagai bahasa perhubungannya.
Terdapat dua versi tentang sejarah suku Bajo. Versi pertama menyatakan bahwa suku Bajo berasal dari Johor. Mereka adalah keturunan orang-orang Johor yang dititahkan raja untuk mencari putrinya yang melarikan diri. Orang-orang tersebut diperintahkan mencari ke segala penjuru negeri hingga pulau Sulawesi. Menurut cerita, sang puteri memilih menetap di Sulawesi, sedangkan orang-orang yang mencarinya lambat laun memilih tinggal dan tidak lagi kembali ke Johor. Dan konon menurut satu versi, sang puteri yang menikah dengan pangeran Bugis kemudian menempatkan rakyatnya di daerah yang sekarang bernama Bajoe. Sedangkan versi lainnya menyebutkan karena tidak dapat menemukan sang puteri, akhirnya orang-orang asal Johor ini memilih menetap di kawasan Teluk Tomini, baik di Gorontalo maupun Kepulauan Togian (bambangpriantono.multiply.com)
Versi kedua menyatakan bahwa suku Bajo berasal dari Palopo, Sulawesi Selatan. Menurut Manan, berdasarkan kedekatan/kesamaan bahasa, bahasa Bajo mempunyai persamaan kesamaan dengan bahasa Tagalog, Filipina.
Masyarakat Bajo di dusun awang mengakui bahwa leluhur mereka berasal dari Sulawesi selatan tanpa menyebutkan nama daerahnya secara tepat. Hal ini dikarenakan para perintis di daerah Awang tersebut sudah tidak ada, dan kurangnya informasi dari nenek moyang mereka tentang asal daerahnya.  

2.1.2.2  Makna Bajo
Makna kata Bajo masih belum jelas. Banyak perdebatan tentang makna kata tersebut. Ada yang menyatakan bahwa bajo bermakna perompak atau bajak laut. Banyak antropolog yang meyakini makna tersebut. Menurut cerita tutur yang terkadang dijadikan landasan pemaknaan makna kata tersebut, kalangan perompak di zaman dulu diyakini berasal dari suku Same. Sejak itu, orang-orang menyebut suku Same sebagai suku Bajo, artinya, suku perompak. Uniknya, nama suku Bajo itu lebih terkenal dan menyebar hingga ke seluruh nusantara; dan suku laut apa pun di wilayah nusantara kerap disamaratakan sebagai suku Bajo.
Banyak kalangan yang tidak menyetujui dan membantah arti “bajo” sebagai perompak atau bajak laut. Karena, itu sama artinya dengan menempatkan suku Bajo di tempat yang tidak semestinya sejarah Indonesia. Yang pasti, suku Bajo adalah suku Same atau suku laut yang hingga sekarang masih memukimi banyak lokasi di seluruh nusantara (suarakomunitas.net/sejarah.masyarakat.suku.bajo.html). Masyarakat Bajo dusun Awang pun memaknai kata “bajo” sebagai nama suku dari masyarakat yang berciri khas tinggal di atas laut.

2.1.2.3  Mata Pencaharian
Keberadaan suku Bajo sebagai suku laut mengimplikasikan bahwa mata pencaharian suku ini adalah nelayan. Bahkan mereka membangun perkampungan jauh menjorok ke arah lautan bebas. Julukan bagi mereka sudah barang tentu adalah sea nomads, karena pada mulanya mereka memang hidup terapung-apung di atas rumah perahu (bambangpriantono.multiply.com)
Suku Bajo dikenal sebagai nelayan yang tangguh. Mereka terbiasa berlayar ke Surabaya, Minahasa, bahkan ke Singapura dan Filipina untuk menjual ikan dan cangkang-cangkang kerang. Mereka dapat berlayar samapai ratusan kilometer untuk menangkap ikan di tempat yang mereka anggap banyak ikan.
Keahlian sebagai nelayan, sehingga mereka dapat menentukan jenis ikan yang dapat ditangkap menurut hari, bulan, waktu yang tepat, arah angin, dan tempat. Mereka juga mempunyai kebiasaan menyiapkan sajen untuk upacara doa sebelum melaut karena perjalanan di laut itu memakan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan (Franqois: 2008)
Tidak demikian dengan masyarakat yang mengaku dirinya orang Bajo di dusun Awang Balak. Mereka tidak tinggal di laut tetapi di tepi pantai. Pekerjaan utamanya adalah nelayan yang mencari ikan di laut, dan ada pula nelayan yang membudidayakan udang lobster di sepanjang perairan tenang di Teluk Awang. Sebagian lagi berdagang sebagai akibat pertemuan budaya dengan suku Sasak dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Walaupun mereka tidak mendominasi kehidupan mereka di laut seperti leluhur mereka, yang diakui dari Sulawesi, tetapi keseharian mereka tetap berada di laut/pantai.

2.1.2.4 Tingkat Pendidikan
Pada umumnya tingkat pendidikan suku Bajo bisa dikatakan sangat rendah. Para orang tua kurang memperhatikan masalah pendidikan dan anak-anak lebih senang terjun ke laut untuk mencari ikan daripada bersekolah. Manan mengatakan, bahwa minat mereka pada pendidikan masih rendah, hanya 0,5% dari 46% angka partisipasi sekolah di Sulawesi Tenggara.
            Masyarakat di wilayah dusun Awang setidaknya dapat dikatakan lebih maju daripada leluhurnya. Mereka telah mengenal dan memahami pentingnya pendidikan di sekolah, walaupun sebagian besar masih mengalami keterbatasan dana. Bagi masyarakat Bajo di Awang, sekolah memang penting, tetapi yang lebih penting adalah mempunyai keterampilan menangkap ikan atau membudidayakan udang. Sehingga jumlah yang meneruskan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi sangat kecil, kurang lebih 5 orang dari jumlah seluruh penduduk.

2.1.2.5 Agama
Leluhur masyarakat Bajo mereka memercayai adanya kekuatan setan-setan dan roh-roh leluhurnya, roh-roh orang mati yang dapat berbuat baik atau jahat. Setan yang merupakan kekuatan jahat bisa membuat orang sakit atau kesurupan arwah, sehingga harus dilakukan pemberian sesajen (Franqois: 2008).
Sementara masyarakat Bajo di dusun Awang menunjukkan identitas Islam yang cukup kental. Di dusun tersebut terdapat 1 masjid yang cukup besar. Semua kegiatan kehidupan diwarnai oleh nilai-nilai agama Islam, misal: dalam perkawinan, ritual yang dilakukan lebih bersifat Islami. Hanya dalam kegiatan atau ritual budaya yang melestarikan budaya leluhur, selamatan laut, mereka menggunakan mantra tertentu di samping doa-doa islami.

2.1.2.6  Penyebaran Suku Bajo
Suku Bajo merupakan suku yang sering berlayar keberbagai tempat dan kadang langsung menetap di tempat itu. Di antara tempat-tempat yang didiami oleh suku Bajo adalah: Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, ataupun di Sulawesi Selatan.
Di Jawa Timur, Suku Bajo diperkirakan banyak terdapat di Kepulauan Kangean, Sumenep. Mereka umumnya tidak menetap secara eksklusif.  Mereka juga tinggal di Pulau Sapeken, Pagerungan Besar, Pagerungan Kecil, Paliat dan pulau-pulau sekitarnya. Mereka tinggal bersama dengan suku Madura dan Bugis. Sementara di Bali, Suku Bajo dapat ditemui di wilayah Singaraja atau Denpasar.  Mereka membaur dengan masyarakat etnis Bali dan Bugis.
Di Pulau Sumbawa, mereka banyak dijumpai di Pulau Moyo dan sekitarnya, serta kawasan Bima di belahan timur Sumbawa. Sementara di wilayah Nusa Tenggata Timur, mereka dapat dijumpai di kawasan pesisir, mulai dari Kabupaten Manggarai Barat hingga Flores Timur. Kota yang ditempati suku Bajo antara lain: Labuhan Bajo; Lembata wilayah Balauring, Wairiang, Waijarang, Lalaba dan Lewoleba; Adonara di wilayah Meko, Sagu dan Waiwerang; dan yang lain bermukim di Pulau Solor, Alor, Timor terutama Timor Barat, Pulau Komodo, dan Rinca . Mereka sudah bermukim disana sejak ratusan tahun silam dan hidup rukun dengan penduduk setempat.
Di wilayah Gorontalo, suku Bajo menempati pesisir Teluk Tomini, terpusat di wilayah Kabupaten Boalemo dan Gorontalo. Di wilayah Sualawesi Tengah menempati kepulauan Togian di Teluk Tomini, Tojo Una-Una, Kepulauan Banggai. Selain itu dimungkinkan dijumpai di pesisir Kabupaten Toli-Toli, Parigi Moutong dan Poso. Sementara di wilayah Sulawesi Utara terdapat di pesisir Konawe dan Kolaka (pulau utama). Di Pulau Muna (Desa Bangko, Kecamatan Baginti yang konon sudah ada sejak abad ke-16), Pulau Kabaena, Pulau Wolio, Pulau Buton, Kepulauan Wakatobi (Kaledupa, Binongko, Kapotta dan Tomea). Di Sulawesi Selatan, suku Bajo terpusat di Kelurahan BajoE, Kabupaten Bone. Orang Bajo banyak tinggal di kawasan sepanjang pesisir teluk Bone sejak ratusan tahun silam. Orang Bajo juga banyak bermukim di pulau-pulau sekitar Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua(denis-thea.blogspot.com)
            Dalam dokumen-dokumen yang suku Bajo di pulau Lombok dinyatakan menempati kampong-kampung di Kecamatan Labuhan Haji, Lombok Timur. Sementara masyarakat Bajo yang ada di Teluk Awang Lombok Tengah tidak dinyatakan dalam dokumen-dokumen resmi. Hal ini dimungkinkan karena jumlah mereka yang tidak terlalu besar. Namun demikian, kegiatan selamatan laut, sebagai sebuah peristiwa yang cukup besar dilakukan oleh pemerintah di dusun Awang, bukan di pusatkan di Lombok Timur.

2.1.3        Suku Bajo dusun Awang Balak
Luas kampung Awang yang menjadi pemukiman suku Bajo di Lombok Tengah sebesar tujuh hektar (7 Ha), terbagi atas Awang Kebon dan Awang Balak. Awang kebon adalah perkampungan yang dihuni oleh Suku Sasak. Sedangkan Awang Balak adalah perkampungan yang dihuni oleh suku Bajo. Menurut leta geografisnya antar Awang Kebon dan Awang Balak tidak tidak memiliki batasan yang terlalu berarti, hanya terdapat jalan setapak sebagai batas wilayah.
Pada mulanya Awang Kebon dan Awang balak dipimpin oleh satu Kepala Dusun atau RT, tetapi lambat laun, karena mereka dua suku berbeda maka diadakan pemisahan. 
Jumlah masyarakat Bajo yang tinggal di Awang Loteng sebanyak 310 KK, terdiri dari 5 RT . Menurut keterangan Kepala Dusunnya atau RTnya, masyarakat Bajo masuk ke Lombok kira-kira lima abad yang lalu. Jumlahnya tidak banyak yaitu hanya lima orang. Lima orang ini menikah dan melahirkan keturuan-keturuan. Seiring waktu, keturunan mereka semakin bertambah. Pada akhirnya mereka dapat membentuk satu perkampungan, yaitu Awang Balak.
Terkait dengan budaya dan adat istiadat bahwa budaya dan adat istiadat yang mereka bawa dari asalnya masih dilestarikan sampai sekarang, misalnya upacara Selamatan Laut dan sistem pernikahan.
Pada hari Kamis tanggal 23 Juni 2011 di dusun Awang dilaksanakan upacara Nyelamat Laut. Kegiatan ini sebenarnya lama tidak dilakukan (terakhir 1997),  karena tidak tersedianya dana;  dan dilakukan lagi karena jumlah penghasilan masyarakat yang semakin menurun.  Masyarakat Bajo berkeyakinan bahwa”ikan akan naik” jika dilakukan upacara Nyelamak Laut, sehingga jumlah ‘tangkapan” mereka dapat naik lagi. Kegiatan ini bukan hanya menjadi acara desa saja, tetapi melibatkan pihak pemerintahan dan TNI.
Kegiatan tersebut dihadiri oleh Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut Mataram Kolonel Marinir Dedi Suhendar, Komandan Pos TNI Angkatan Laut Teluk Awang Pelda Keu Taukhid, Wakil Bupati Lombok Tengah Drs. H. Lalu Normal Suzana, Camat, Kadus, Kades, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat dan pemuka – pemuka lainnya. Kehadiran mereka dalam ritual Nyelamak Laut yang dilaksanakan di pantai Awang desa Mertak kecamatan Pujut kabupaten Lombok Tengah Provinsi NTB, sebagai wujud dukungan terhadap pelestarian budaya suku Bugis Bajo dan sekaligus sebagai wujud sikap yang ditunjukkan untuk bersama-sama menjaga kelestarian laut beserta isinya.
Kehadiran Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut Mataram disambut hangat oleh masyarakat setempat  dengan ditandai pengikatan sarung adat suku bugis dan dengan disajikan atraksi seni bela diri pencak silat Kuntow diiringi alunan gendang serone (gong gendang suku Bugis) menuju ke tempat Sarapo prosesi ritual.
Nyelamak Laut dimulai dengan dzikir bersama, Ngalli Lahaq (mengelilingi lingkungan), pengumandangan adzan di setiap sudut lingkungan diikuti dengan menuntun seekor kambing hitam mulus yang akan disembelih untuk diambil kepalanya sebagai perlengkapan Raki (sesaji) yang akan dilepas di tengah laut saat arus air pasang. Ritual dinyatakan selesai setelah raki diturunkan beserta tenggelamnya kepala kambing yang disakralkan, selanjutnya acara dilanjutkan dengan saling menyirami dengan air dan saling melempar umbi – umbian yang lunak antara nelayan yang satu dengan lainnya sebagai pertanda kegembiraan

2.1.4 Pemertahanan Bahasa
Pemertahanan bahasa (language maintenance)  lazim didefinisikan sebagai upaya yang disengaja untuk mempertahankan penggunaan bahasa tertentu di tengah “ancaman” bahasa yang lain (jurnal Dadardana).
Pemertahanan bahasa dapat terjadi karena beberapa faktor. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa faktor industrialisasi dan urbanisasi/transmigrasi merupakan faktor utama (jurnal Lukman) pergeseran bahasa. Selain itu dikatakan oleh Fisman (dalam Fauzi:2008) bahwa salah satu faktor penting pemertahanan sebuah bahasa adalah adanya loyalitas masyarakat pendukungnya. Dengan loyalitas itu, pendukung suatu bahasa akan tetap mewariskan bahasanya dari generasi ke generasi.
Selanjutnya Holmes (dalam Fauzi: 2008) menyatakan tiga faktor utama yang berhubungan dengan keberhasilan pemertahanan bahasa. Pertama, jumlah orang yang mengakui bahasa tersebut sebagai bahasa ibu mereka. Kedua, jumlah media yang mendukung bahasa tersebut dalam masyarakat, ( sekolah, publikasi, radio, dan lain-lain). Ketiga, indeks yang berhubungan dengan jumlah orang yang mengakui dengan perbandingan total dari media-media pendukung.
Selanjutnya Miller (dalam Fauzi,2008) mengklasifikasikan situasi kebahasaan yang hidup lestari, sakit-sakitan, atau bahkan mati dan punah bergantung pada apakah anak-anak mempelajari bahasa ibunya, apakah penutur orang dewasanya berbicara dengan sesamanya dalam seting yang beragam menggunakan bahasa ibu tersebut, dan berapa jumlah penutur asli  bahasa ibu yang masih ada.
Fasold  (dalam Soemarsono, 2009) menemukan faktor lain pemertahanan bahasa yaitu faktor dwibahasawan. Pernyataan itu didasarkan pada hasil penelitiannya terhadap bahasa Tiwa di Taos, New Mexico. Masyarakat Tiwa adalah kelompok penghuni perkampungan Indian, jumlahnya sekitar 2000 orang. Sebagian besar masih menempati warisan nenek moyangnya. Bangsa Tiwa umumnya dwibahasawan. Mereka menguasai tiga bahasa yaitu bahasa Tiwa (B1), bahasa Spanyol (B2 lama) bahasa Inggris (B2 baru). Hasil penelitian Fasold membuktikan bahwa kedwibahasaan bisa mengakibatkan bergesernya bahasa B2 lama ke B2 baru, sementara B1 masih bertahan. Hal ini dibuktikan dengan data penguasaan terhadap tiga bahasa tersebut (Tiwa, Spanyol, Inggris) oleh empat generasi. Generasi pertama (bapak ibu dan kakek-nenek berusia 50-75 dan kakek-nenek dari kelompok usia 30-45 tahun) adalah kedwibahasaan Tiwa+Spanyol, sementara yang lainnya mengaku mampu berbahasa Inggris dan eka bahasawan. Generasi kedua (kakek-nenek dari mereka yang berusia 16-25 tahun dan 11-14 tahun, dan bapak-ibu dari kelompok umur 30-45 tahun) penguasaan Bahasa Spanyolnya merosot, sebaliknya  penguasaan bahasa Inggris menanjak. Generasi ketiga (kelompok usia 50-75, 30-45, dan 16-25 tahun dan bapak ibu dari kelompok usia 16-25 dan 11-14tahun), pola yang dominan adalah kedwibahasaan Tiwa + Inggris. Generasi keempat (kelompok usia 11-14 tahun) tidak satupun yang mengaku berbahasa Spanyol; tidak satupun yang ekabahasawan Tiwa, tetapi 25% ekabahasawan mampu bertahan dari desakan bahasa pendatang yaitu bahasa Spanyol dan Inggris.
Sementara Soemarsono (2009) menemukan hal lain faktor penyebab suatu bahasa bisa bertahan yaitu faktor toleransi dan geografi. Faktor tersebut dinyatakan sebagai hasil penelitiannya terhadap pemertahanan bahasa Melayu Loloan di Bali. Menurutnya, warga Bali memiliki sikap toleran yang besar terhadap masyarakat Melayu Loloan. Mereka tidak segan menggunakan bahasa Melayu untuk berkomunikasi dengan masyarakat Loloan. Secara geografis, letak pemukiman masyarakat Loloan terpisah dengan pemukiman masyarakat Bali. Keadaan seperti ini mendukung bertahannya bahasa Melayu Loloan dari desakan bahasa Melayu.

2.1.5        Upaya Pemertahanan Bahasa secara Umum
Dadardana mengatakan bahwa pemertahanan juga dapat diartikan sebagai upaya yang disengaja untuk mempertahankan penggunaan bahasa tertentu di tengah “ancaman” bahasa yang lain”. Upaya untuk mempertahankan bahasa itu dapat diwujudkan dalam bentuk diversitas kultural, memelihara identitas etnis, menjaga adaptabilitas sosial, dan meningkatkan kepekaan linguistis serta secara psikologis dapat menambah rasa aman bagi anak
Sementara beberapa penelitian terkait pemertahanan bahasa menghasilkan simpulan tentang upaya pemertahanan bahasa di antaranya adalah sebagai berikut.
1)     Upaya dari Penutur Sendiri
Upaya dari penutur tiada lain adalah loyal berbahasa dengan bahasanya sendiri. Loyalitas penutur bahasa sangat menentukan keberhasilan dalam pemertahanan bahasa. Hal ini pernah disinggung oleh Fisman (dalam Fauzi, 2008) bahwa salah satu faktor penting pemertahanan sebuah bahasa adalah adanya loyalitas masyarakat pendukungnya. Dengan loyalitas itu, pendukung suatu bahasa akan tetap mewariskan bahasanya dari generasi ke generasi. Fauzi sendiri membukitkan pernyatan Holmes tersebut dia meneliti Pemertahan Bahasa Banjar di Komunitas Perkampungan Dayak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bahasa Banjar memiliki prestise lebih dibandingkan dengan bahasa bahasa Dayak. Dengan prestise tersebut, sikap loyalitas penuturnya semakin tinggi pada setiap penutur. Loyalitas terhadap bahasa inilah yang terus dipertahankan, sehingga bahasa Banjar mampu bertahan terhadap bahasa Dayak.

2)     Upaya dari Pemerintah Setempat
Upaya seperti ini pernah diterapkan oleh Pemerintah daerah Sunda sebagai upaya untuk melestarikan bahasa Sunda. Pemerintah Daerah mengeluarkan suatu peraturan bahwa (1) Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah, (2) Perda Nomor 6 Tahun 2003 tentang pemeliharaan kesenian, dan (3) Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang pengelolaan kepurbakalaan, kesejarahan, nilai tradisional dan museum. Tiga serangkai perda di atas ditandatangani Gubernur Jawa Barat pada 13 Januari 2003 dan merupakan fondasi kebijakan perencanaan bahasa yang menempatkan bahasa daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari strategi atau politik kebudayaan daerah. Dengan usahan dan dukungan penuh dari pemerintah dapat membantu suatu bahasa tetap bertahan.



3)     Upaya dari Instansi Pendidikan
Pendidikan sebagai suatu wadah pembentukan pribadi dan karekter manusia, termasuk penanaman sikap berbahasa, berpotensi untuk ikut mempertahankan bahasa. Jika suatu bahasa dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, maka sikap baik dan loyal terhadap bahasa tersebut akan timbul. Hal semacam inilah yang banyak dilakukan oleh instansi pendidkan di Jawa dalam rangka melestarikan dan mempertahankan bahasa Jawa.

4)     Upaya dari Perusahaan
Perusaahaan dalam hal ini media masa, di beberapa tempat dijakan sebagai sebuah pembubliksian suatu bahasa. Sebab bagi sebagian daerah faktor publikasi media massa seperti koran, radio dan TV lebih ternyata ampuh dalam memperatahankan bahasa. Bahasa Banjar dan bahasa Sunda adalah dua adalah dua bukti nyata.
Bahasa Banjar, selain memiliki penutur yang loyal terhadap bahasanya juga akrab dengan media massa, khusunya radio dan koran. Maka melalui itu, bahasa Banjar terus dipublikasikan. Dampaknya, bukan hanya masyarakat Banjar saja yang menikmati tetapi juga oleh masyarakat Dayak dan lainnya.   Bahasa Sunda pun demikian. Banyak penerbit yang mengkhususkan menerbitkan buku-buku yang berbahasa Sunda seperti Kiblat Buku Utama dan Geger Sunten.

5)                  Upaya dari Orang Tua dan Tokoh Masyarakat
Orang tua dan tokoh masyarakat memliki peran yang penting dalam mempertahankan suatu bahasa. Sehinga banyak daerah yang mampu mempertahankan bahasanya akibat upaya dari orang tua dan tokoh masyarakat tersebut.
Upaya dari orang tua berwujud pengajaran suatu bahasa kepada anak-anaknya, sedangkan upaya dari tokoh masyarakat berwujud penggunaan bahasa daerah pada setiap upacara adat dan keagamaan.

2.2      Landasan Teori
2.2.1 Pengertian Pemertahanan Bahasa
Pergeseran dan pemertahanan bahasa merupakan proses dapat terjadi pada suatu bahasa sebagai kode yang bersifat dinamis. Karena kode-kode itu tidak pernah lepas antara yang satu dengan yang lainnya, maka bahasa dapat mengalami perubahan. Pergeseran bahasa (language shift) menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang terjadi akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur yang lain. Sedangkan pemertahanan bahasa menyangkut masalah sikap atau penilaian terhadap suatu bahasa untuk tetap menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa lainnya (Chaer:1995)
Fasold (dalam jurnal Lukman) mengungkapkan bahwa pergeseran dan pemertahanan bahasa ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, karena merupakan hasil kolektif dari pilihan bahasa (language Choice). Keduanya merupakan pembandingan dominasi penggunaan di antara dua bahasa atau lebih.  Jadi, jika salah satu bahasa dianggap bertahan dibanding dengan bahasa yang lain, maka berarti terdapat bahasa lain yang yang bergeser penggunaannya.
Pemertahanan bahasa diartikan sebagai keadaan yang menunjukkan bahwa masyarakat secara bersama-sama memutuskan untuk terus melanjutkan menggunakan bahasanya di suatu daerah. Sumarsono (2009:231) menambahkan bahwa pemertahanan bahasa terjadi dalam jangka panjang (paling tidak tiga generasi) dan bersifat kolektif (dilakukan oleh seluruh warga guyup).  Dalam pemertahanan bahasa, guyup itu secara kolektif menentukan untuk melanjutkan memakai bahasa yang sudah biasa dipakai. Ketika guyup tutur memilih bahasa baru di dalam ranah yang semula diperuntukkan untuk bahasa lama, itulah mungkin merupakan tanda bahwa pergeseran sedang berlangsung. Jika para warga itu monolingual (ekabahasawan) dan secara kolektif tidak menghendaki bahasa lain, mereka jelas mempertahankan pola penggunaan bahasa mereka. 

2.2.2 Upaya pemertahanan
            Berdasarkan kajian pustaka terkait dengan upaya pemertahanan bahasa, maka upaya dalam penelitian ini dimaknai sebagai segala sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat tutur untuk mempertahankan penggunaan bahasa tertentu dalam komunikasi di antara mereka. Pembahasan upaya dapat digolongkan menjadi dua, yakni pihak yang melakukan upaya dan bentuk upaya yang dilakukan.
Pihak yang melakukan upaya dapat dibedakan menjadi dua, yakni internal maupun eksternal. Yang dimaksud dengan pihak internal adalah orang atau lembaga yang berupaya mempertahankan penggunaan suatu bahasa yang berasal dari komunitas tutur. Sementara pihak eksternal adalah orang atau lembaga yang berada di luar masyarakat tutur.
Bentuk upaya pemertahanan dalam penelitian ini dimaknai sebagai usaha, yang bersifat nyata atau abstrak, yang dilakukan sehingga penggunaan bahasa tertentu dapat lebih eksis daripada bahasa lain. Bentuk upaya yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak tersebut adalah sebagai berikut.
1)        Pemeliharaan identitas etnis
Pemeliharaan identitas etnis adalah upaya yang dilakukan oleh masyarakat tertentu untuk mempertahankan adat budaya yang mereka miliki. Pemeliharaan identitas etnis dapat diwujudkan dengan dua model, yakni (1) hanya melaksanakan adat budaya milik sendiri dan mengabaikan adat budaya masyarakat lama; dan (2) melaksanakan adat budaya milik komunitas sendiri, tetapi juga ikut serta dalam pelaksanaan adat budaya masyarakat setempat.
Model pertama, masyarakat pendatang menjaga jarak dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini dapat saja menimbulkan konflik dengan masyarakat lama, tetapi dapat juga tidak. Hal tersebut sangat dipengaruhi/ditentukan oleh karakter/sikap masyarakat setempat dalam dan pendekatan masyarakat pendukung terhadap masyarakat setempat/lama. Contoh pemeliharaan identitas etnis ini adalah penggunaan bahasa daerah tertetntu (Madura) ketika berada di kalangan pengguna bahasa yang lain.
Sebaliknya model kedua, meminta masyarakat pendatang untuk lebih menunjukkan toleransinya. Hal ini mengakibatkan bertambahnya kegiatan yang harus dilakukan oleh masyarakat pendatang, ketika terjadi interaksi budaya dengan budaya masyarakat setempat. Sebagai contoh adalah masyarakat Budha di Jawa yang ikut melakukan “sedekah”  menjelang Idul Fitri.  

2)        Adaptasi sosial
Upaya ini dilakukan oleh masyarakat pendatang sebagai wujud toleransi terhadap budaya masyarakat setempat. Adaptasi dimaknai sebagai terjadinya penggabungan budaya dari masyarakat pendatang dan masyarakat setempat. Adaptasi tersebut dapat bersifat parsial maupun mutlak. Adapatasi yang bersifat parsial berbentuk penambahan kegiatan adat budaya pada masyarakat pendatang. Penambahan itu dilakukan dengan mengambil sebagian adat dari masyarakat lama. Contohnya, kegiatan selamatan yang dilakukan umat Islam. Kegiatan tersebut merupakan adaptasi terhadap budaya Hindu yang dilakukan sebagai penghormatan terhadap dewanya. Sementara doa-doa menggunakan doa-doa yang mengambil dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Cara kedua adalah mengawinkan dengan budaya masyarakat lama.
Penggabungan tersebut dapat mengakibatkan munculnya wujud budaya yang baru. Wujud budaya merupakan bentukan baru yang berbeda dengan adat setempat maupun adat dari kaum pendatang. Biasanya penggabungan ini dilakukan atas inisiatif masyarakat pendatang. Bagi masyarakat yang lama hal ini dianggap sebagai pergeseran budaya akibat pertemuan dua budaya, dan bentuk toleransi terhadap warga baru, sebagai contoh, penggunaan bahasa Pecinan.

3)        Pemerolehan bahasa
Salah satu upaya pemertahanan yang bersifat linguistik adalah pemerolehan bahasa. Orang tua menggunakan bahasa daerah etnis orang tua sebagai  “bahasa ibu” pada anak-anak mereka. Berbagai faktor yang melatarbelakangi keadaan tersebut.
Dengan menggunakan bahasa daerah menyebabkan anak-anak harus menguasai lebih dari satu bahasa, ketika nantinya mereka berinteraksi dengan masyarakat pengguna bahasa yang lain. Namun seringkali itu tidak menjadi hambatan yang terlalu penting daripada untuk menjaga persatuan dan keutuhan komunitas.
4)        Kebiasaan berbahasa
Jika pada pemerolehan bahasa, upaya tersebut bersifat genetis, artinya, terjadi pada generasi yang berbeda; maka pada bagian ini dapat dilakukan pada generasi yang sama. Kebiasaan berbahasa ini lebih menekankan pada aspek untuk kemudahan memproduksi dan memahami unsur bahasa. Selain itu juga ada anggapan bahwa nilai rasa penggunaan bahasa tertentu lebih sesuai dengan keinginan pengguna daripada jika harus menggunakan bahasa yang dirasanya kurang familier. Dengan kata lain, kebiasaan ini dilakukan untuk mengakrabkan para partisipan tuturnya

5)        Peningkatan kepekaan linguistis
Yang dimaksud dengan peningkatan kepekaan linguistis adalah upaya yang dengan sengaja dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas rasa linguistis. Hal ini mudah ditemui pada kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat tutur bahasa Indoensia ketika berada di luar negeri. Selain mereka bermaksud untuk menimbulkan rasa sebangsa, mereka juga memberikan pembelajaran pada anak-anak mereka yang lahir atau tinggal di luar negeri sejak kecil. Penggunaan bahasa Indonesia diharapkan dapat membuat anak-anak mereka mengenal dan meningkatkan kemahiran berbahasa Indonesia.  
6)        Rasa aman bagi anak
Upaya lain dilakukan dengan maksud untuk memberikan rasa aman bagi anak-anak dari masyarakat tutur tertentu ketika berada di komunitas tutur baha lain. Sebagai contoh, anak-anak yang belum mampu menguasai bahasa kedua akan ketakutan atau menarik diri ketika diajak menggunakan bahasa lain. Sementara jika orang tua/guru menggunakan bahasa daerah yang dikuasainya, maka anak akan mempunyai pemahaman yang selanjutnya merasa aman karena merasa tidak berada dalam lingkungan yang asing.
7)        Loyalitas berbahasa
Upaya ini biasanya bersifat internal dari dalam diri si penutur. Kebanggaan sebagai bagian dari etnis tertentu menyebabkan penggunaan bahasa yang berbeda dengan bahasa dalam komunitas setempat. Sebagai contoh adalah bahasa Indonesia yang digunakan oleh seseorang yang berbicara di depan forum internasional, walaupun sebenarnya dia mampu menggunakan bahasa Inggris. 

8)        Peraturan daerah
Dalam upaya pelestarian budaya, beberapa  daerah di Indonesia mengeluarkan peraturan daerah untuk menggunakan bahasa daerah dalam wacana-wacana tertentu. Hal ini tentu saja dapat meningkatkan peran bahasa daerah dalam penggunaannya. Sebagai contoh, penggunaan bahasa sunda atau bahasa banjar yang diatur oleh peraturan daerahnya. 
9)        Kurikulum
Memasukkan pembelajaran bahasa tertentu ke dalam kurikulum sekolah merupakan cara yang cukup efektif untuk mempertahankan bahasa tertentu. Selain subjek didik yang mempelajari sejak usia muda tetapi juga mendorong orang tua untuk membantu dan membimbing anak-anak untuk menguasainya. Dengan demikian, bahasa tersebut dapat lebih bertahan daripada bahasa yang lain.
Hanya saja perlu diwaspadai tentang materi yang diberikan. Banyak pembelajaran bahasa tertentu (daerah) yang hanya bersifat untuk memenuhi syarat pembelajaran bahasa tetapi tidak memberikan keterampilan berbahasa yang sebenarnya. Materi yang diberikan bersifat pengetahuan bahasa, buka ketererampilan berbahasa. Jika hal ini dilakukan terus menerus dan tidak diperbaiki maka bahasa daerah tersebut juga hanya menjadi pelajaran yang bersifat hafalan saja tetapi tidak pernah diterapkan. Sebagai contoh adalah pembelajaran bahasa jawa di kota Malang.
10)    Media massa
Upaya yang cukup efektif dan efisien juga dapat dilakukan dengan menggunakan media massa, baik cetak maupun elektronik. Upaya ini telah dilakukan untuk pemertahanan bahasa Sunda. Program-program radio di Jawa Barat, banyak menggunakan bahasa Sunda. Hal ini tentu membuat pengguna lebih akrab dan merasa familier dengan penggunaan bahasa Sunda


BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3. 1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan upaya masyarakat Bajo dalam memperthaankan bahasa Bajo di Lombok Tengah.

3.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat teoretis dan praktis. Secara teoretis, hasil penelitian ini menjadi sumbangan terhadap teori Sosiolinguistik. Sementara secara praktis penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai dokumen kebahasaan bagi Pusat Bahasa NTB



BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yakni upaya yang dilakukan oleh mayarakat Bajo dalam mempertahankan bahasa Bajo di Lombok, maka penelitian ini digolongkan ke dalam penelitian deskriptif kualitatif.  Suatu penelitian digolongkan ke dalam penelitian deskriptif jika suatu penelitian hanya berusaha untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena alam yang terjadi (Farkhan, 2007:11). 
Rancangan penelitian deskriptif ini mempunyai karakteristik sebagai berikut.
1)      Untuk memperoleh informasi aktual yang terjadi pada saat penelitian dilakukan, yakni tentang upaya yang dilakukan masyarakat Bajo dalam mempertahankan bahasa Bajo.
2)      Penelitian tidak untuk menguji hipotesis, karena penelitian ini hanya dimaksudkan untuk mendeskripsikan upaya masyarakat secara alami atau tanpa rekayasa.

4.2  Populasi dan Sampel
4.2.1        Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto: 108). Populasi dapat diartikan sejumlah kasus yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Bajo yang menetap di Desa Awang Kec Pujut Kab. Lombok Tengah.

4.2.2        Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto: 109). Sampel merupakan sebagian anggota populasi yang menjadi subjek penelitian atau yang terlibat dalam penelitian (Farkhan, 2007: 63). Adapun teknik pengambilan sampel yang akan peneliti pakai dalam penelitian ini adalah teknik probability sampling, model startified sampling. Probability sampling mengacu pada cara pengambilan sampel yang memberikan kesempatan kepada seluruh anggota populasi untuk diangkat sebagai atau menjadi anggota sampel. Kemudian, yang dimaksud dengan startified sampling adalah pengambilan sampel dari populasi berstrata (Farkhan, 2007: 33). Teknik ini sengaja dipilih dengan alasan bahwa seluruh populasi penelitian, bersifat homogen, ikut serta dalam pemertahanan bahasa, juga dalam setiap golongan baik berupa usia, status soial, keluarga, dan lain-lain akan mempengaruhi pemertahanan bahasa. Model startified sampling dipilih karena dalam pengambilan data dari responden, peneliti harus memperhatikan strata-strata tertentu. Adapun informan penelitian ini adalah Kepala Dusun Awang, Tetua Adat, Kepala Keluarga, Ibu-ibu, anak-anak dusun Awang Balak, Kepala Dusun Awang Kebun, dan warga Awang Kebun.

4.3  Jenis dan Sumber Data
4.3.1        Jenis Data
Penelitian yang tergolong dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif ini memerlukan data-data verbal yang dihasilkan dari hasil wawancara dan observasi. Data dalam penelitian ini berwujud keterangan tentang berbagai upaya yang dilakukan untuk mempertahankan penggunaan bahasa bajo oleh penggunanya. 
4.3.2        Sumber Data
Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh (Arikunto: 107).  Arikunto menggolongkan sumber data menjadi tiga yaitu person (orang), place (tempat), dan paper (simbol). Terkait dengan ini, sumber data yang akan menjadi pedoman dalam penelitian ini adalah memanfaatkan sumber data person dan paper.Sumber data person adalah sumber data yang bisa memberikan data berupa jawaban lisan melalui wawancara atau jawaban tertulis melalui angket. Sedangkan sumber data paper adalah sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa huruf, angka yang menunjukkan demografi desa Mertak dusun Awang.
Cukup beralasan mengapa peneliti memakai sumber data yang dua di atas, sebab person menjadi responden langsung dan paper akan menjadi bukti pendukung tentang pemertahanan bahasa Bajo di Lombok. 
Adapun narasumber dalam penelitian ini adalah:
1.      Kepala dusun
2.      Tetua Adat (dukun adat)
3.      Tokoh kampung Awang Balak
4.      Bapak-bapak dan ibu-ibu warga dusun Awang Balak
5.      Anak-anak warga kampung Balak
6.      Kepala dusun Awang Kebun.
7.      Warga Awang Kebun

4.4  Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau cara yang digunakakan untuk mendapatkan data atau informasi yang dibutuhkan dalam suatu penelitian (Farkhan, 2007: 38). Secara langsung, dalam hal ini penelitilah yang menjadi instrumen utama yang dibantu dengan hasil wawancara, observasi, dan kuesioner.

4.5  Teknik Pengumpulan Data
Peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan teknik wawancara, dan observasi. Wawancara dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh informasi dari informan. Wawancara dilakukan secara formal dan informal. Secara formal, wawancara didasarkan pada pedoman daftar tanyaan; dan dilakukan dengan persetujuan dan kesadaran dari pihak informan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Sementara wawancara secara informan dilakukan secara insidental berdasarkan pada fakta yang terjadi, tanpa perencanaan sebelumnya. Wawancara informal digunakan untuk lebih menegaskan data yang telah didapat.  
Kegiatan observasi digunakan untuk mendapatkan data yang bersifat visual yang mengandalkan keterlibatan peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan objek yang sedang diteliti (Farkhan, 2007:39). Dalam hal ini peneliti melakukan pencatatan dan pendokumentasian kegiatan penggunaan bahasa Bajo di dusun Awang. Kegiatan ini juga dilakukan untuk memperkuat data yang didapat melalui wawancara.

4.6  Teknik Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan, baik berupa data verbal maupun data visual, diolah dengan tahapan sebagai berikut.

1)      Penyeleksian
Seleksi ini dimaksudkan untuk mereduksi data yang dianggap kurang sesuai dengan tujuan penelitian ini.
2)      Pengklasifikasian
Setelah data diseleksi, maka dilakukan analisis terhadap data. Analisis ini dilakukan dengan melakukan klasifikasi data. Klasifikasi ini didasarkan pada landasan teori yang telah ditetapkan. Namun demikian, tetap dimungkinkan terjadinya pengklasifikasian baru, jika memang didapatkan data dengan klasifikasi yang berbeda dengan landasan teori yang ditetapkan.
3)      Pembahasan
Analisis berikutnya dilakukan dengan melakukan pembahasan berdasarkan klasifikasi yang telah dilakukan. Pembahasan dilakukan dengan meninjau data berdasarkan landasan teori yang telah ditetapkan. Pada bagian dilakukan pemaknaan terhadap data yang didapat, sehingga data tersebut dapat menjawab permasalahan penelitian ini

4.7  Penyajian Data
Hasil analisis data disajikan secara deskriptif . Artinya hasil penelitian dipaparkan secara parafrase. Paparan tersebut terkait dengan upaya-upaya masyarakat suku Bajo dalam mempertahankan bahasa Bajo di antara penggunaan bahasa Sasak

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Mas bisa ga post kn hasil penelitian y jg..?

Unknown mengatakan...

tidak bisa

Unknown mengatakan...

bro, apakah situ berasal dari sana juga (awang) kalo iya tinggal di mana

Posting Komentar

Copyright: Blog Trik dan Tips - http://blogtrikdantips.blogspot.com/2012/04/cara-membuat-burung-terbang-twitter.html#ixzz1wvdLqFy3 Tolong sertakan link ini jika mengkopi artikel diatas. Terima kasih