Twitter Facebook MySpace YouTube RSS Feed

Kajian Sastra Multidisipliner


Oleh: Ramadhan

Abstrak
            Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kemiripan dua cerpen dari penga­rang yang berbeda latar budaya, yakni Indonesia dan India. Sumber data adalah cerpen “Selamat Jalan Nek!” karya Danarto (Indonesia) dan cerpen “Pohon” karya Monaj Das (India). Analisis pem­bandingan dilakukan  dengan cara:  pembacaan dan pemahaman mendalam, identifi­ka­si titik mirip pada aspek struktural, pembandingan dan penafsiran titik mirip. Hasil pemban­dingan menunjukan bahwa rangkaian peristiwa yang membangun alur dua cerpen tersebut memiliki kemiripan pada awal dan akhir cerita. Cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh memiliki kemiripan, khususnya pada aspek fisiologis dan sosiologis tokoh. Tema kedua cer­pen memiliki kemiripan, yakni perten­tangan antara unsur modernitas yang diwakili kaum muda dengan tradisionalitas yang diwakili kaum tua. Oleh karena kedua pengarang tidak saling berinteraksi maka kemiripan yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor analogi.

Kata kunci: sastra perbandingan, titik kemiripan, dan analogi

PENDAHULUAN
            Karya sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat, merupakan dunia subjektivi­tas yang diciptakan oleh pengarang yang di dalamnya terdapat  berbagai aspek kehidupan yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Aspek kehidupan tersebut berupa aspek sosiolologis, psikologis, filsafat, budaya, dan agama. Keberadaan karya sastra tidak dapat dilepaskan dari diri pengarang sebagai bagian dari anggota suatu masyarakat. Sehingga dalam penciptaannya, pengarang tidak dapat terlepas dari lingkungan sosial budaya yang melatarinya.
            Sesuatu hal yang mutlak ada pada suatu masyarakat dan sekaligus menunjukkan adanya masyarakat tersebut yaitu kebudayaan. Kebudayaan selalu dikaitkan dengan perilaku akal budi setiap manusia. Sesuai dengan keberadaan akal budi manusia yang bersifat dinamis, maka bentuk kebudayaan yang terdapat pada suatu masyarakat juga akan bergeser sejalan dengan dinamika akal budi manusia dan perkembangan zaman. Di samping itu, dengan semakin terbukanya interaksi antarmasyarakat yang satu dengan yang lainnya maka hal  ini juga akan berpengaruh terhadap kedinamisan kebudayaan. Sebagai akibat lebih jauh dari adanya saling interaksi antarmasyarakat, tidak menutup kemungkinan akan membentuk suatu kebudayaaan baru sebagai hasil dari ketepaduan dua atau lebih kebudyaaan.
            Kehidupan dunia sastra sebagai bagian dari kebudayaan suatu masyarakat pada gilirannya juga akan mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan kebudayaan masyarakat. Sehingga seperti juga yang terjadi pada kebudayaan. Perkembangan sastra juga akan mengalami saling mempengaruhi antarsastra yang hidup pada masyarakat tertentu, dengan sastra lain di luar masyarakat tersebut. Bentuk keterpengaruhan ini akan beraneka ragam, sesuai dengan tingkat interaksi yang telah dan sedang terjadi.
            Pada dasarnya, perkembangan suatu masyarakat yang diwujudkan melalui kebu­dayaan sangat tergantung pada faktor-faktor yang ada pada masyarakat itu sendiri. Salah satu faktor utamanya adalah manusianya. Tingkat pemikiran manusia yang secara langsung maupun tidak langsung terbentuk oleh interaksi dengan alam lingkungannya akan menentukan kedinamisan perkembangan masyarakat tersebut. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi perkembangan kebudayaan yang “relatif” sama antara budaya suatu masyarkat dengan budata masyarakat lainnya, walaupun tidak pernah terjadi interaksi. Hal itu dapat terjadi karena faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan kebudayaan yang ada pada masyarakat itu, juga terdapat pada masyarakat yang lainnya dan perkembangan yang dialami relatif sama. Gejala yang demikian ini juga seperti gejala yang di atas, juga terjadi pada dunia sastra. Dalam arti bahwa, karena tingkat perkembangan dan keadaan faktor-faktor yang ada di masyarakatnya mempunyai kedudukan serta kondisi yang sama, maka tidak menutup kemungkinan sastra yang dihasilkan juga relatif sama. Untuk menentukan kedudukan apakah memang gejala seperti di atas sebagai akibat adanya interaksi atau kebetulan, atau kemungkinan lainnya, maka perlu diadakan pengkajian secara mendalam berdasarkan keberadaan masing-masing masyarakat tersebut. Khusus dalam perkembangan dunia sastra, sebagai upaya untuk melihat dan mungkin menentukan gejala-gejala itu, maka dapat ditempuh dengan adanya cabang ilmu sastra perbandingan.
            Sastra perbandingan sebagai suatu disiplin ilmu sastra yang baru saja berkembang, masih memerlukan perjalanan yang panjang untuk mencapai kedudukan sebagai ilmu yang mantap. Perjalanan panjang itu masih harus ditempuh karena sampai sekarang masih terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli menyikapi keberadaan sastra perbandingan. Keadaan yang demikian ini sebenarnya sekaligus menunjukkan kedinamisan perkembangan sastra perbandingan sebagai sebuah ilmu.
            Istilah sastra bandingan dalam praktiknya menyangkut bidang studi dan masalah lain. Pertama kali istilah sastra bandingan dipakai untuk studi sastra lisan, terutama cerita-cerita rakyat dan migrasinya, serta bagaimana cdan kapan cerita rakyat tersebut masuk ke dalam penulisan dunia sastra yang lebih artistik. Meskipun studi sastra lisan mempunyai permasalahan tersendiri (yaitu masalah penyebaran dan latar sosial), permasalahan dasarnya sebenarnya sama dengan sastra tulis. Sehingga ada yang berpendapat bahwa sastra lisan bagian integral dari sastra tulis dan kesinambungan sastra lisan dan sastra tulis tidak pernah terputus. Dengan demikian, maka istilah sastra bandingan bukan istilah yang dikhususkan untuk studi sastra lisan, tetapi juga menyangkut keberadaan sastra tulis.
            Kedua, istilah sastra bandingan mencakup studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih. Pendekatan tersebut dipelopori oleh kelompok ilmuwan Perancis yang disebut “comparatites”, dipimpin oleh Fernand Baldensperger. Pada kurun waktu ini, yang nampak dalam studi bandingan yaitu permasalahan metodologinya lebih sekedar mengumpulkan informasi tinjauan buku, terjemahan, dan pengaruh (Rene Wellek dan Austin Warren). Perkembangan selanjutnya masih belum menampakkan adanya kemapanan baik secara teoritis maupun metodologis.
            Sastra bandingan, sebagai sebuah disiplin ilmu atau kajian akademik, belum begitu lama mendapat pengakuan dari para ilmuwan. Karena perkembangan yang masih pada tahao permulaan inilah, sangat memungkinkan munculnya pengertian-pengertian dan definisi tentang sastra bandingan yang berbeda-beda dari setiap ilmuwan sastra. Munculnya pengertian-pengertian tersebut disertai dengan landasan acuan yang berbeda pula.
            Menurut Henry H. Remark sastra bandingan adalah suatu studi sastra di luar perba­tasan suatu negara tertentu dan studi tentang hubungan-hubungan antara kesusastraan di satu pihak dan bidang-bidang pengetahuan dna kepercayaan di pihak lain. Dari pendapat ini memberikan indikasi bahwa studi sastra bandingan mempunyai cakupan yang sangat luas yaitu, (1) perbandingan antara sastra dengan sastra yang lain, (2) perbandingan antara sastra dengan bidang-bidang lainnya yang merupakan hasil ekspresi manusia (Henry H Remark dalam Elly N Danardono, 1989).
            Membandingkan dua karya sastra atau lebvih dari sedikitnya dua negara yang berbeda, termasuk wilayah kajian sastra bandingan (comparative literature). Syarat lain bahwa karya sastra yang akan dibandingkan setidak-tidaknya mempunyai tiga perbedaan yang menyangkut (1) bahasa, (2) wilayah, dan (3) politik. Pendapat ini dikemukakan oleh Maman S. Mahayana dalam makalahnya yang disampaikan pada Seminar Sastra Bandingan di UI, 1990. Dari pendapt tersebut, dengan melihat perbedaan antara dua karya sastra sebagai bahan perbandingan akan menampakkan adanya perbedaan latar belakang sosial budaya (lokasi, tradisi, dan pengaruhnya) yang melingkari diri masing-masing pengarang, yang tercermin pula dalam karyanya. Dari pendapat kedua ilmuwan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam rangka studi perbandingan sastra perlu syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syarat tersebut yaitu (1) cakupan bahasa, (2) wilayah, (3) politik, dan (4) bidang-bidang seni lain.
            Robert J. Clements melihat sastra bandingan sebagai disiplin akademis yang memiliki pendekatan yang mencakup aspek (1) tema, (2) jenis/bentuk, (3) gerakan/trend, (4) keterhubungan sastra dengan disiplin dan media seni lain, dan (5) sejarah teori sastra. Selanjutnya, Clements menyebutkan dasar-dasar telaah yang dijadikan sebagai langkah dari perbandingan sastra yaitu, (1) titik tolak genre dfan bentuk, (2) titik tolak periode, aliran, dan pengaruh, dan (3) titik tolak tema dan mitos.
            Berdasarkan titik tolak kajian yang disampaikan oleh Clements, para ilmuwan membedakan tiga bentuk hasil kajian sebagai penafsiran, yaitu (1) analogi afinitas, (2) keterpengaruhan, dan (3) faktor kebetulan. Faktor analogi dimungkinkan ada karena beberapa faktor yang sejajar antara lain, yakni (a) seting sosial, (b) dunia tradisi kesusastraan setempat, dan (c) psikologis. Faktor keterpengaruhan diklasifikasikan sebagai (a) pinjaman langsung, (b) pengaruh budaya asal, (c) sastra dalam pengasingan, (d) pengaruh negatif berupa penolakan pengarang terhadap ide tertentu yang datang dari budaya lain, (e) keberuntungan pengarang yang mempengaruhi pengarang lain, (f) pengkianatan kreatif dari para penerjemah maupun editor (Tommy Christomy, 1990:3).

METODE PENELITIAN
            Dalam penelitian ini akan diperbandingkan cerpen yang berjudul “Pohon” karya Monaj Das (India) dengan cerpen yang berjudul “Selamat Jalan, Nek” karya Danarto (Indonesia). Cerpen karya Monaj Das termuat dalam kumpulan cerita pendek India yang berjudul Sentuhlah Aku terjemahan Sori Siregar, sedangkan cerpen karya Danart termuat dalam kumpulan cerpen yang berjudul Berhala diterbitkan oleh Pustaka Firdaus (1987).
            Secara umum alasan pemilihan bahan kajian ini dikaitkan dengan kondisi yang dialami oleh negara Indonesia dan India. Menurut anggapan atau pendapat umum sering dikatakan bahwa bangsa Indonesia dan India merupakan negara yang termasuk dalam sebutan Dunia Ketiga, sebagai negara yang sampai saat ini dan entah sampai kapan, disebut sebagai negara yang sedang berkembang. Karena kondisi yang relatif sama itulah, tidak menutup kemungkinan berbagai situasi yang ada, tantangan yang dihadapi, perubahan yang terjadi juga menunjukkan kemiripan. Tidak mustahil kondisi semcam itu juga akan berpengaruh terhadap perkembangan dunia sastra, yang dianggap sebagai cerminan sebuah masyarakat. Berdasarkan kenyataan inilah, maka kajian ini mengambil perbandingan dari dua negara yang dalam kondisi relatif sama, sehingga diharapkan dapat melihat lebih jauh hal-hal yang berkaitan dengan keadaan masing-masing, khususnya dalam perkembangan sastranya. Di samping alasan yang bersifat umum, pada pengkajian ini juga didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang bersifat khusus. Pemilihan kedua karya sastra tersebut juga berdasarkan keuniversalan sastra. Artinya, semua karya sastra mempunyai ciri-ciri umum dan juga mempunyai ciri-ciri khusus yang hanya dimiliki oleh karya sastra tersebut.
            Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, metode yang digunakan dalam kajian ini yakni  metode penelitian kualitatif induktif. Maksudnya, pengkaji berangkat dari pembacaan dan pemahaman naskah karya sastra (cerpen) secara umum, kemudian mengidentifikasi titik mirip atau dengan kata lain pengaji mencoba mendeskripsikan dan melihat kemiripan yang terdapat di antara kedua karya tersebut. Berdasarkan dari data yang diperoleh dari identifikasi tersebut, titik mirip yang ditemukan itu dikaji dengan cara diperbandingkan antara cerpen “Selamat Jalan, Nek..” (Indonesia) dengan cerpen “Pohon” (India). Selanjutnya pengkai menentukan gejala-gejala kemiripan yang tejadi dengan cara penafsiran tersendiri berdasarkan data-data yang mendukung.

HASIL DAN  PEMBAHASAN
Deskripsi Cerpen yang Diperbandingkan
            Melalui cerpen Selamat Jalan, Nek..”, Danarto mencoba mengungkap permasa­lahan yang sementara ini menjadi bagian dari dinamisasi kehidupan masyarakat, yaitu kecenderungan pertentangan antara alam pikiran (rasionalisme) dengan dunia mistik (irasional) dan antara alam nyata dengan keberadaan alam adikodrati. Bahwa pada satu sisi kehidupan manusia selamanya akan ditemukan sikap rasional dan sikap irasional. Mun­culnya sikap dan sifat yang menurut logika dan rasional, menyimpang dari akal semata-mata, disebabkan oleh adanya kesadaran yang penuh dan keberterimaan yang mutlak pada diri manusia terhadap dzat yang senantiasa menyelimuti dunia semesta ini. kesadaran karena adanya suatu kekuatan yang mahabesar yang berada di luar diri manusia.

KUBURAN ITU MENGANGA!
....... Kuburan Eyang putri yang kami jaga empat puluh hari empat puluh malam, dibongkar maling, dan kain kafan, ya .... kain kafan itu ....

“eyang bakal mati pada malam Selasa Kliwon dini hari, tujuh hari mendatang. Lalu kuburkan cepat-cepat di siang hari. Soalnya sore hari bakal hujan lebat. Sebagian Jakarta bakal menemukan ......

            Hal itu semakin jelas menunjukkan bahwa pada satu sisi dari kehidupan manusia sering terjadi peristiwa yang tidak daat dipecahkan dengan sandaran kekuatan logika dan pikiran semata-mata. Paa kondisi tertentu, manusia dipertemukan dengan permasalahan naluriah, di luar kekuasaan manusia. Permasalahan ini yang memberikan tanda-tanda akan adanya “sesuatu” yang melingkupi kehidupan manusia. Permasalahan itu dihadirkan oleh Danarto sebagai potret, cermin dan refleksi perilaku manusia dalam masyarakat di dalam mendinamisasikan budayanya.
            Lebih lanjut dipertegas oleh Danarto permasalahan rasionalitas dengan irasional itu dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang berdiri pada dua kutub yang berlawanan. Antara sikap rasionalitas generasi muda melalui penampilan peralatan canggih yang berupa kom­pu­ter dengan sikap irasionalitas yang dikaitkan dengan kepercayaan, keyakinan akan suatu pertanda tertentu yang membelenggu pemikiran mistik. Hal itu ditandai dengan kehadiran tokoh Windfield yang ahli komputer dan pertanda kematian yang dikaitkan dengan waktu-waktu khusus. Pada akhirnya sikap rasionalitas yang diwakili komputer ternyata tidak berdaya menghadapi kekuatan di luar indrawi dengan gambaran kuburan Nenek yang dijagai komputer ternyata menganga dan terbuka.
            Seperti pada cerpen Danarto, Monaj Das dalam cerpen yang diberi judul “Pohon”, juga ingin mengungkapkan permasalahan yang berkaitan dengan pertentangan antara pemikiran modern dengan pemikiran tradisional. Pada pemikiran tradisional cenderung melihat gejala yang terjadi di alam ini, dikaitkan dengan pertanda adanya kekuatan besar di luar diri manusia. Pada pemikiran modern lebih cenderung mempertimbangkan setiap gejala berdasarkan hasil pemikiran akal dan logika semata.
“Gumpalan awan yang mencekam bergerak melayang berada di atas pegunungan yang berjarak beberapa mil itu dan lingkaran cahaya gaib mengitari bulan telah mengsisyaratkan orang-orang setempat .....

Dedaunan tak henti-hentinya gemeretak .... cabang-cabang pohon dengan dedaunan yang rimbun, merupakan simbol perlindungan kepada mereka sejak dulu yang tidak hanya memberikan .....

            Orang-orang yang masih percaya pada pertanda-pertanda yang disajikan alam, selalu menghubungkan pertanda itu dengan sesuatu yang akan menimpa dirinya. Berbeda dengan orang yang sudah berpikiran  modern, bahwa sesuatu hal harus dapat dipecahkan dengan nalar dan kekuatan akal pikiran.
            Sebagaimana yang dilakukan Danarto, dalam cerpen Monaj Das juga menghadirkan pertentangan antara tokoh yang mewakili sikap rasional dengan tokoh yang mewakili sikap irasional. Tokoh pemuda dan mahasiswa merupakan tokh yang sudah mempunyai tradisi pemikiran modern dengan berdasarkan logika. Para penduduk yang kebanyakan kaum tua, merupakan simbol dari alam pemikiran tradisional, yang melihat gejala alam yang terjadi tidak hanya berdasarkan kekuatan logika. Peristiwa yang terjadi selalu dikaitkan dengan sesuatu fenomena metafisik.

Identifikasi Titik Mirip
            Sesuai dengan tujuan kajian, maka kegiatan perbandingan antara dua cerpen  tersebut dengan menggunakan analisis perbandingan struktural. Dalam hal ini kajian perbandingan dibatasi pada tiga masalah, yaitu (a) alur, (b) penokohan, dan (c) tema. Kedua karya tersebut diidentifikasi titik miripnya kemudian ditentukan dasarnya mengapa terjadi kemiripan antara karya diperbandingkan.
Plot atau alur merupakan bangun karangan prosa maupun drama yang penting. Peristiwa yang muncul pada plot adalah peristiwa yang disebabkan oleh lakuan tokoh-tokohnya. Plot merupakan pola keterhubungan antarperistiwa didasarkan pada efek kausalitas.
            Cerpen “Selamat Jalan, Nek” (SJN) dan “Pohon” (Phn) alurnya disusun secara konvensional, peristiwa disusun sedemikian rupa sehingga mencapai klimaks pada akhir cerita. Urutan peristiwa dibentuk secara espisodik, yaitu disusun berurutan dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Dalam kajian perbandingan ini, bandingan alur kedua karya sastra tersebut tidak dilihat dari segi pengalurannya, tetapi justru dari peristiwa-peristiwa yang membangun alur/plot.
            Cerpen SJN diawali dengan penggambaran keadaan yang dikaitkan dengan pertanda alam. Keadaan alam yang dirasakan sebagai suatu pertanda akan terjadinya perubahan peristiwa lain di balik pertanda tersebut. Karena kesadaran penuh terhadap adanya suatu kekuatan di luar diri manusia, maka pertanda itulah yang disadari sebagai titik awal kejadian alam berikutnya dan akan terjadi menurut kepercayaan dan keyakinan masyarakat. Penggambaran pada awal cerita ini, mungkin dimaksudkan oleh pengaran untuk membawa pembaca pada permasalahan intin yang akan ditampilkan dalam cerita tersebut. Pembaca diajak untuk menangkap gejala alam dengan kosekuensi dua sikap yakni rasional dan irasional.
KUBURAN itu menganga!
Dalam keadaan masik terkantuk-kantuk, saya dan empat saudara saya dan seorang bule California, melongok menatap kuburan yang menganga .....

            Penyajian peristiwa ini merupakan titik awal untuk memulai alur cerita dalam cerpen SJN. Peristiwa dan kejadian alam sebagai titik awal dalam membangun cerita yang kemudian dirangkaikan denga peristiwa-peristiwa selanjutnya.
            Seperti  halnya pada cerpen SJN, dalam cerpen Phn penyajian peristiwa sebagai titik awal susunan alur juga diawali dengan menghadirkan suatu peristiwa alam. Suatu gejala alam, yang digambarkan dalam cerita ini mampu mengajak pembaca pada suatu kondisi pemikiran yang secara dikotomis mempertemukan antara sikap rasional dan sikap dan perilaku irasional. Dalam arti bahwa pada suatu kondisi tertentu, dalam menangkap gejala alam yang sedang terjadi manusia dihadapkan pada dua pilihan penentuan sikap. Pada sisi tertentu didasarkan pada kekuatan logika semata dan pada sisi lain harus menggunakan kesadaran akan keterbatasan dan pengakuan terhadap adanya kekuatan di luar diri manusia. Hal itu yang memaksa manusia untuk tidak hanya berpikir mikrokosmos tapi juga berpikir makrokosmos.
“Gumpalan awan yang mencekam bergerak melayang berada di atas pegunungan yang berjarak beberapa mil itu dan lingkaran cahaya gaib mengitari bulan telah mengsisyaratkan orang-orang setempat .....

            Peristiwa alam seperti gambaran pada awal cerita ini oleh Monaj Das dijadikan sebagai titik awal penyusunan peristiwa-peristiwa berikutnya untuk membangun struktur alur. Mempercayai bahwa setiap gejala alam yang terjadi tidak selalu dapat diatasi dengan usaha dan pemikiran di bawah alam rasional, tetapi perlu juda adanya sikap yang mistik sebagai bentuk sikap irasional.
            Dengan melihat peristiwa yang dihadirkan pada awal cerita dari SJN dan Phn, dapat ditemukan titik mirip yaitu sama-sama menghadirkan peristiwa alam untuk membangun alur cerita. Baik Danarto maupun Monaj Das menyadari suatu fenomena alam dengan penyikapan pada dua sisi. Kemiripan yang terjadi pada dua karya tersebut, mungkin disebabkan oleh kesamaan keinginan untuk merefleksikan keadaan masyarakat masing-masing yang relatif “sama”.
            Selanjutnya, peristiwa yang dijadikan sebagai pembangun alur pada klimaks cerita SJN, menghadirkan peristiwa pertentangan antara sikap rasional dan sikap mistik (irasonal). Danarto menggambarkan pertentangan antara kaum muda sebagai simbol rasio dan kaum tua sebagai simbol kekolotan.
“lama-lama, dipikir-pikir, penggunaan komputer Anda kurang tepat”, tiba-tiba seorang Oom menegur saya. Kita sedang menghadapi orang yang akan meninggal dunia, dan mengandalkan sebuah mesin....

Saya dan Winfield sungguh dalam  suasana serius”, jawab saya
“okey, tapi komputermu itu malah mengganggu. Kalian tidak memikirkan Eyang, tapi malah justru sibuk dengan perkakas itu ......

            Pertentangan antara kaum muda dan tokoh tua ini semakin memberikan gambaran kepada kita bahwa sebenarnya sesuatu hal yang menjadi fenomena alam, tidak selamanya dapat disikapi dengan kekuatan logika dan nalar semata. Pada kondisi tertentu, kekuatan itu akan  dihadapkan pada permasalahan metafisis, sehingga pemecahannya tidak dengan pikr tetapi dengan dzikir sebagai wujud hubunan transendental.
            Dalam cerita Phn, Monaj Das pada klimaks cerita juga menghadirkan peristiwa pertentangan antara kaum muda dan kaum tua. Kaum muda sebagai simbol modernitas menyikapi gejala alam yang terjadi dengan berdasarkan logika. Di pihak lain, kaum tua menyikapi gejala tersebut dengan mengubungkan pada pertanda alam yang akan terjadi setelah munculnya peristiwa tersebut. Dasar sikap dan perilaku kaum tua adalah kesadaran metafisis dalam kerangka kehidupan semesta.
“Kalau pohon itu rubuh, akan membawa seluruh bongkahan besar itu merosot ke dalam sungai, karena akar-akarnya yang tak terhitung telah menjadikan tanah-tanah ini seperti balok,” ujar seorang anak muda..... Di dusun inilah, hanya mereka bertigalah yang belajar di perguruan tinggi

“Apa? Pohon itu rubuh!  Berani benar kau mengatakan itu....? Seberapa jauh pengetahuanmu tentang pohon ini?

Mereka telah membuat tulang di lidahnya,” komentar Ravinda. “Kalian belajar di perguruan tinggi bukan! Nah mari selamatkan pohon ini dengan bahasa Inggrismu, aljabarmu, dan semua abracadabra, “ tentang mereka ..... (hal 93)

            Pertentangan terjadi antara pemikiran modern yang diwakili oleh kaum muda (mahasiswa) dengan pemikiran tradisional yang diwakili kaum tua. Bukti bahwa kita memang harus tetap menengok kembali pemikiran dan sikap yang adikodrati (metafisis) digambarkan oleh Monaj Das dalam cerpen Phn melalui tokoh mahasiswa sebagai simbol modernitas, yang ternyata harus gagal untuk menghadapi perilaku masyarakat yang masih tradisional dan cenderung irasional.
            Bila diperhatikan peristiwa-peristiwa yang dijadikan bahan untuk membangun alur cerita dalam cerita tersebut, memiliki kemiripan-kemiripan. Pada awal cerita menghadirkan peristiwa alam, dalam klimaks menghadirkan peristiwa pertentangan sikap antara kaum tua dan kaum muda, dan pada akhir cerita peristiwa ketidakberdayaan rasionalitas.
            Elemen selanjutnya yang diidentifikasi adalah tokoh-tokoh dalam kedua cerpen tersebut. Tokoh ialah individu yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh-tokoh memiliki sifat tertentu dengan peran yang dilekatkan padanya oleh pengarang. Cara menampilkan tokoh-tokoh dalam karya sastra disebut penokohan.
            Dalam kedua karya yang dibandingkan tersebut, pengarang sama-sama menghadirkan tokoh-tokoh yang berdiri di antara dua kutub. Tokoh kaum muda dihadapkan dengan tokoh kaum tua. Kaum muda sebagai simbol pemikiran rasional dan modern sedangkan kaum tua sebagai simbol pemikiran emosional dan tradisional.
            Cerpen SJN menghadirkan kuam muda yaitu tokoh “Aku” dan Wienfield dengan keyakinannya pada peralatan canggih berupa komputer. Kaum tua yaitu tokoh “Oom-Oom” dengan pemikiran dan anggapan yang tidak hanya berdasarkan nalar semata, ketika menghadapi gejala alam berupa kematian Nenek.

“Komputer ini tekah mendudukkan Eyang sebagai kelinci percobaan,” cetus seorang Om
“penyelidikan yang bukan main! Gebrak Om Dirjen. “Jauh amat langkah seorang sarjana yang mengatasnamakan ilmunya, rupanya! Anda ingat. Kita semua di sini berhadapan dengan suatu adat istiadat, suatu naluri, suatu moral, suatu tata krama ..... (hal 55)

            Bahwa permasalahan yang dihadapi kedua tokoh tersebut disikapi dari dua sisi. Sikap rasionalitas melalui perilaku logika dan sikap emosional yang direfleksikan dengan berhadapan pada suatu tatanan moral, tatanan adat istiadat, serta norma-norma lainnya yang tidak dapat ditangkap hanya dengan menggunakan kekuatan logika semata.
            Cerpen Pohon juga menghadirkan tokoh-tokoh yang berada pada dua kondisi yang dikotomis. Kaum muda sebagai simbol modernitas diwakili oleh sekelompok mahasiswa dengan segala bekal ilmu pengetahuannya, sedangkan kaum tua diwakili oleh sebagian penduduk desa dengan ketaatannya pada tatanan norma-norma kepercayaan yang telah mengakar dalam setiap gerak kehidupannya selama ini.
““Kalau pohon itu rubuh, akan membawa seluruh bongkahan besar itu merosot ke dalam sungai, karena akar-akarnya yang tak terhitung telah menjadikan tanah-tanah ini seperti balok,” ujar seorang anak muda kepada temannya .... (hal 93)

“... Baik silakan kerjakan itu demi kasihan kalian kepada kami, demi kasihan kalian kepada empat belas generasi dari nenek moyang kami! Mau bukan! “Yang kumaksud bagaimana menyelamatkan pohon ini agar tidak jadi rubuh?

“... Berjanjilah dengan diucapkan dalam hati saja – biarkan hanya roh pohon itu yang mendengarkan – bahwa kalau pohon itu selamat kalian akan memotong rambut .... (hal 95)

            Sikap rasional kaum muda dalam melihat gejala tentang robohnya pohon itu berdasarkan pemikiran ilmu pengetahuan dan logika. Dari dasar ini muncul suatu perkiraan bahwa memang sudah waktunya ‘pohon’ itu rubuh karena tanahnya terkena erosi. Sikap emosional kaum tua melihat gejala ini dikaitkan dengan pertanda zaman yang sudah diyakini akan mendatangkan gejala dan akibat baru yang segera dialami sebagai akibat peristiwa tersebut.
            Dari identifikasi tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam kedua cerpen tersebut, ditemukan titik kemiripan. Pada cerpen SJN dihadirkan tokoh aku dan Wienfield dengan peralatan canggihnya berupa komputer, sedangkan dalam cerpen Phn dihadirkan tokoh mahasiswa sebagai simbol moderniitas dan rasionalitas. Selanjutnya, dalam SJN untuk mewakili tokoh  yang berpikiran tradisional dihadirkan tokoh Om dengan pemikiran dan tanggapan yang didasarkan pada tatanan norma adat, agama, serta tatanan naluri. Dalam Phn, tokoh tua (kaum tua) yaitu sebagian warga desa, dengan pemikiran yang didasarkan pada keyakinan dan ajaran yang selama ini telah dijadika pedoman dalam hidup bermasyarakat.

Perbandingan Tema berdasarkan Titik Mirip
            Setelah diidentifikasi aspek-aspek yang mendukung kesimpulan tema dari kedua cerpen tersebut, selanjutnya akan diperbandingkan hadiln identifikasi untuk menunjukkan adanya kemiripan.
            Pada cerpen SJN karya Danarto diawali dengan peristiwa yang menggambarkan peristiwa yang menjadi kepercayaan orang Jawa, tentang pencurian kain kafan. Ini merukan pemikiran irasional orang Jawa tentang adanya hari baik dan hari buruk dalam kehidupan. Dalam cerpen Phn karya Monaj Das juga diawali dengan sebuah gambaran peristiwa irasional, mengenai sikap dan kepercayaan masyarakat India terhadap gejala alam. Kepercayaan masyarakat terhadap suatu peristiwa yang dianggap akan membawa akibat bagi perjalanan kehidupan selanjutnya. Bulan yang dilingkari cahaya ghaib mengisyaratkan  bahwa sebentar lagi akan terjadi peristiwa yang mengerikan.
            Dari peristiwa yang digambarkan pada awal cerpen tersebut merupakan salah satu bukti adanya kemiripan kedua cerpen  dari latar sosial yang berjauhan, yakni Indonesia dan India. Baik Danarto maupun Monaj Das mengawali cerita secara langsung pada pokok masalah tentang adanya pertentangan antara modern dan tradisional, rasional dan irasional. Perkembangan zaman yang membawa perkembangan daya pikir manusia sehingga menghasilkan produk-produk ilmu pengetahuan yang canggig digunakan untuk menjawab segala permasalahan kehidupan.
            Dalam hal ini, Danarot mencoba mempertentangkan antara keyakinan yang ada pada orang Jawa tentang hari baik yang dipercaya dan diyakini mendatangkan pengaruh khusus, dengan kecanggihan ilmu pengetahuan seperti komputer. Perkembangan ilmu pengetahuan, yang diharapkan dapat menjawab segala permasalahan kehidupan manusia ternyata pada satu sisi tertentu tak mampu menghadapi fenomena yang berkaitan dengan keberadaan manusia secara naluri. Akibat adanya pemujaan yang berlebih-lebihan terjadap akal pikiran, manusia cenderung mengabaikan apa yang menjadi keyakinan, kesadaran akan keterbatasan, dan selalu mengatasnamakan ilmu untuk mempertimbangkan tuntutan hidup. Segala sikap yang mengarah pada pemuasan keduniawian, yang mengarah pada pemujaan akal dan rasio belaka. Secara ringkas cerpen karya Danarto ini menggambarkan kecenderungan sikap kita (yang disebut sebagai orang modern), yang percaya penuh pada kebenaran ilmu pengetahuan (rasio). Sebaliknya, tidak lagi memperhatikan permasalahan yang justru paling hakiki dari perjalaan hidup manusia, yakni adanya kesadaran mengenai arah setelah akhir perjalanan hidup di dunia. Dalam mencoba menampilkan pertentangan kedua masalah, dalam cerpen ini Danarto  menghadirkan dua simbol secara dikotomis. Kepercayaan adanya hari baik yang mengarah kepada kesadaran insani, sebagai wakil dari sudut pemikiran irasional, sedangkan kehadiran komputer sebagai wakil dari pemujaan teknologi dan ilmu pengetahuan.
            Dalam menghadirkan permasalahan yang berkaitan dengan penyikapan terhadap perkembangan pemikiran manusia, Monaj Das menampilkan keyakinan yang ada pada masyarakat tradisional India, dengan perkembangan pemikiran yang dialami oleh generasi muda. Keyakinan masyarakat kepada pohon yang merupakan wujud dzat yang satu, sebagaimana kepercayaan orang India yang menganggap bahwa segala sesuatu yang ada di semesta ini sebagai lambang dari Sang Hyang Baka.  Oleh karena itu, ketika ‘pohon’ yang menjadi tempat melaksanakan bentuk-bentuk peribadatan ituakan rubuhm secara sungguh-sungguh mereka berusaha untuk mempertahankannya. Sikap yang demikian inilah yang menimbulkan pertentangan dengan sikap kaum muda. Kaum muda beranggapan bahwa sebab-sebab kerubuhan pohon itu dapat diatasi secara nalar. Kaum muda tidak memperhatikan lebih jauh akibat rubuhnya pohon itu, tetapi melihat sebatas pemikiran berdasarkan akal bahwa jika pohon itu rubuh akan berakibat tanah longsor karena erosi. Kaum muda sebagai orang yang telah mengalami zaman baru dengan mengenyam pendidikan dan ilmu pengetahuan mencoba menghadapi gejala yang terjadi berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Secara ringkas cerpen Monaj Das juga ingin menggambarkan sikap dan sifat serta perilaku orang modern yang enggan melihat kembali apa yang terjadi pada masa lalu.
           Secara keseluruhan, kedua cerpen ini dikembangkan oleh dua tokoh yang masing-masing mewakili dua kutub, yakni kaum muda dan tua. Dalam SJN kita berhadapan dengan konflik  oleh tokah saya dan Om. Di belakang tokoh saya ada tokoh Wienfield sebagai ahli komputer, sedangkan tokoh Om di belakangnya terdapat kesadaran akan keterbatasan manusia. Sementara itu dalam Phn kita berhadapan dengan konflik tokoh Nirakas Das dengan tokoh mahasiswa. Di balik tokoh Nirakas terdapatr pandangan orang tua yang tetap memegang teguh sikap dan kesadaran akan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan, sedangkan di balik mahasiswa terdapat tokh DPR yang memberikan gambaran penguasa baru dalam perkembangan kemasyarakatan.
            Perbandinga selanjutnya diarahkan pada sikap pengarang terjadap konflik yang terjadi. Ternyata sikap pengarang dalam kedua cerpen tersebut menunjukkan kemiripan. Danarto bersikap bahwa kira memang perlu tetap memperhatikan gejala kehidupan tidak sebatas pada pemujaan alam rasionalitas semata. Hal ini ditunjukkan oleh Danarto melalui penggambaran ketika komputer sebagai lambang kecanggihan ilmu pengetahuan tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi gejala aneh tentang peristiwa kematian. Dalam cerpennya, Monaj Das juga menunjukkan sikap yang sama melalui penggambaran peristiwa yang dialami oleh mahasiswa yang tidak dapat berbuat banyak saat menghadapi tuntutan masyarakat untuk mencegah rubuhnya pohon tempat pemujaan.
            Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kedua cerpen tersebut menunjukkan adanya kemiripan-kemiripan. Kemiripan tersebut antara lain adalah, (1) rangkaian peristiwa yang membangun alur, (2) konflik antartokoh, (3) tema cerita, dan (4) kecenderungan sikap pengarang dalam mengatasi konflik.

Penafsiran Perbandingan
            Sebagai tahap akhir kegiatan perbandingan adalah penafsiran hasil perbandingan. Yang dimaksud dengan penafsiran adalah penyikapan peneliti terhadap adanya kemiripan-kemiripan di antara kedua objek kajian. Tuasg dari tahap ini yaitu menjawab pertanyaan, mengapa terjadi kemiripan di antara kedua cerpen tersebut. Penafsiran terhadap hasil bandingan itu harus berdasarkan data-data yang menunjukkan sebab-sebab mengapa terjadi kemiripan. Oleh karena itu, sebelum menafsirkan hasil perbandingan dalam pembahasan ini, perlu diuraikan data dan pertimbangan untuk menentukan kedudukan dari kedua karya tersebut.
a.       bahwa antara Danarto sebagai pengarang cerpen SJN dengan Monaj Das sebagai pengarang Phn tidak terjado kontak secara langsung, sehingga kecil kemungkinan bila keduanya saling mempengaruhi dalam penciptaan karyanya
b.      bahwa kondisi sosial kemasyarakatan yang menyangkut ekonomi, politik, budaya serta berbagai masalah pemerintahan menunjukkan perkembangan dalam taraf yang relatif sama, yakni sebagai kelompok negara yang sedang berkembang.
           
Dari uraian di atas, pada kajian perbandingan cerpen karya Danarto dan Monaj Das kali ini, kemiripan-kemiripan yang terjadi karena adanya faktor analogi. Hal itu dengan penjelasan karena kondisi sosial kemasyarakatan yang menunjukkan adanya kesamaan taraf perkembangan. Di samping itu adanya kesejajaran dalam beberapa aspek kehidupan, seperti kesejajaran seting sosial, dunia tradisi kesastraan, dan perkembangan psikologis antara Indonesia dan India. Seting sosial yang sama memungkinkan menghasilkan karya yang memiliki kemiripan. Secara psikologis, perkembangan pola pikir dan perilaku yang relatif sama juga memungkinkan menghasilkan bentuk dan substansi ekspresi yang relatif sama. Hal itulah yang mengakibatkan adanya kemungkinan munculnya karya-karya yang memiliki kemiripan pada aspek-aspek tertentu.

SIMPULAN
            Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut ini. Pertama, rangkaian peristiwa yang membangun alur dari masing-masing karya memiliki kemiripan. Kedua, cara pengarang menghadirkan tokoh-tokoh dalam kedua karya tersebut memiliki kemiripan, khususnya pada aspek fisiologis dan sosiologis tokoh. Ketiga, tema yang membangun cerita kedua cerpen memiliki kemiripan, yakni perten­tangan antara unsur modernitas yang diwakili kaum muda dengan tradisionalitas yang diwakili kaum tua. Keempat, berdasarkan fakta dan data yang ada dapat disimpulkan bahwa kemiripan yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor analogi.

DAFTAR PUSTAKA
Christomy, Tomy SS. 1990. Kumpulan Makalah Seminar Sastra Perbandingan Fakalutas Sastra UI”. Jakarta:FSUI
Danarto. 1987. Kumpulan Cerpen Berhala. Jakarta: Pustaka Firdaus
Mahayana, Maman S. 1990. “Kumpulan Makalah Seminar Sastra Perbandingan Fakalutas Sastra UI”. Jakarta:FSUI
Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan
Prasad, Madhusudan (Ed.) 1990. Sentuhlah Aku, Kumpulan Cerita Pendek India Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Penerbit Gramedia.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright: Blog Trik dan Tips - http://blogtrikdantips.blogspot.com/2012/04/cara-membuat-burung-terbang-twitter.html#ixzz1wvdLqFy3 Tolong sertakan link ini jika mengkopi artikel diatas. Terima kasih