Twitter Facebook MySpace YouTube RSS Feed

Nilai Sosial dalam Novel Harimau! Harimau! Karya Mochtar Lubis

oleh: Ramadhan


Abstrak  :Kebobrokan pemimpin, perkawinan yang tidak ada kesesuaian dan tidak berlandaskan cinta, pebuatan dosa dalam agama, dan individulisme tinggi adalah masalah-masalah yang sangat merugikan bagi kehidupan sosial.  

Kata kunci: Masalah sosial, Novel Harimau-harimau, Sosiologi sastra

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak pernah terlepas dari kehidupan sosial, sebuah kehidupan sosial akan membentuk suatu perkumpulan yang disebut masyarakat, bisa dikatakan bahwa masyarakat yang baik adalah masyarakat yang kehidupan sosialnya rukun. Dalam kehidupan sosial ada yang bersifat vertikal dan ada yang bersifat horizontal. di antara sifat vertikal itu ialah antara pemimpin dan rakyat, antara Tuhan dengan hambanya, dan yang bersifat horizontal yaitu antara istri dan suami, antara individu dan kelompok. jika salah satu hubungan dari dua ini rusak maka rusaklah masyarakat tersebut. Oleh sebab itu novel Harimau-harimau hadir sebagai sebuah jembatan untuk memperbaiki hubungan sosial baik yang bersifat vertikal maupun horizontal.
Adapun kesengajaan saya menganalisis novel ini berdasarkan nilai sosial yang terkandung di dalamnya adalah untuk membantu menerjemahkan nilai-nilai sosial yang sangat penting untuk kita ketahaui, karena secara tidak sadar kita sudah disinggung besar-besaran oleh novel tersebut. Indonesia misalkan, rusak akibat pemimpinnya yang pengecut, yang manis dari luar saja namun pahit dan busuk didalamnya. gambaran seperti ini sudah tersirat dalam ini. juga lebih dari itu yaitu
membantu para mahasiswa yang bergelut di bidang sastra terutama mahasiswa Universitas Kanjuruhan Malang untuk menambah wawasannya terhadap pemahaman sastra.
Pada novel yang dikarang oleh Moctar Lubis ini menceritakan sekelompok orang dan diantara sekelompok itu ada seorang tokoh yang dianggap orang yang tangguh, cerdik, dan menguasai Ilmu persilatan serta ilmu gaib sehingga ia dipercaya untuk memimpin kelompok itu. Namun anggapan mereka salah bahwa orang yang dianggapnya perkasa itu ternyat tidak lebih dari dari orang yang pengecut. Dan diantara mereka itu sebetulnya masing-masing menyimpan dosa besar sehingga dihukum oleh Tuhan dengan mengirimkan mereka sebuah hukuman. Dalam hukuman itu mereka harus mnghadapi dengan dipimpin oleh seorang pecundang.      
Sorang tokoh yang lanjut usia lagi dari diceritakan dalam novel itu mengawani seorang wanita kembang desa, karena nikah yang didasari hanya untuk menyambung hidup suaminya saja tanpa landasan cinta sedikit pun maka wanita menjadi sengsara.
Di akhir cerita, mereka ada mati dan mereka yang hibup menyadarikesalahan-kesalahan yang membalut mereka selama ini. Masalah-masalah tersebutlah yang saya kaitkan dengan masyarakat kita sekarang.



BAB II
LANDASAN TEORI

1. Pengertian Sosiologi sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.
Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan.

2. klasifikasi sosiologi sastra
Ian Watt (dalam Damono, 1989: 3-4) menjelaskan sosiologi sastra meliputi hal-hal berikut.
1. Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan : (a) bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya, (b) profesionalisme dalam kepengaragannya, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
2. Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis, (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat, (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.
3. Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan (1) sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai pengbaharu dan perombak, (2) sastra sebagai penghibur saja, dan (3) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.

3. Pendekatan Sosio Kultural Sastra
Grebsten (dalam Damono, 1989) menjelaskan dalam bukunya mengungkapkan istilah pendekatan sosiologi kultural terhadap sastra dengan kesimpulan sebagai berikut.
1. Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural. Karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit. Bagimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri.
2. Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya, bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan tersebut. Tak ada karya sastra yang besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal; dalam pengertian ini sastra adalah kegiatan yang sungguh-sunggug.
3. Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang per orang. Karya sastra bukan merupakan moral dalam arti yang sempit, yaitu yang sesuai dengan suatu kode atau tindak tanduk tertentu, melainkan dalam pengertian bahwa ia terlibat di dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Dengan demikian sastra adalah eksprimen moral.
4. Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama, sebagai sesuatu
kekuatan atau faktor material, istimewa, dan kedua, sebagai tradisi yakni kecenderungan spiritual kultural yang bersifat kolektif. Dengan demikian bentuk dan isi karya sastra dapat mencerminkan perkembangan sosiologi, atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural.
5. Kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tampa pamrih ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuan tertentu. Kritik adalah kegiatan yang terpenting yang harus mampu mempengaruhi penciptaaan sastra tidak dengan cara mendikte sastrawan agar memilih tema tertentu misalnya, melainkan dengan menciptakan iklim tertentu yang bermanfaat bagi penciptaan seni besar.
6. Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa  depan. Dari sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus memilih yang sesuai untuk masa kini. Perhatiannya bukanlah seperti pengumpul benda-benda kuno yang kerjanya hanya menyusun kembali, tetapi memberi penafsiran seperti yang dibutuhkan oleh masa kini. Dan karena setiap generasi membutuhkan pilihan yang berbeda-beda, tugas kritikus untuk menggali masa lalu tak ada habisnya.
Lanjut Damono (1989: 14) mengemukakan bahwa segala yang ada di dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Seniman hanyalah meniru apa yang ada dalam kenyataan dan hasilnya bukan suatu kenyataan. Pandangan senada dikemukakan oleh Teeuw (1984- 220) mengatakan bahwa dunia empirek tak mewakili dunia sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, penelaahan, dan pembayangan ataupun peniruan. Lewat mimesis, penelaahan kenyataan mengungkapkan makna, hakikat kenyataan itu. Oleh karena itu, seni yang baik harus truthful berani dan seniman harus bersifat modest, rendah hati. Seniman harus menyadari bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal.
Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak penelitian-penelitian yang menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami stagnasi. Didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.

4. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara mencapai tujuan yakni untuk mencapai pokok permasalahan. Demikian halnya dengan penelitian terhadap karya sastra harus melalui metode yang tepat. Dalam penelitian ini saya menggunakan pendekatan struktural yaitu mendekati struktur pembangun karya sastra itu sendiri. Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan yaitu data-data yang ada hunbungannya dengan permasalahan sosial, kemudian dianalisis menggunakan teori sosiologi sastra dan marksisme.

A. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah unsur yang sama-sama dengan sasaran  penelitian yang membentuk data dan konteks data (Sudaryanto, 1988:  30).  Objek penelitian ini adalah aspek moral dalam novel  Harimau! Harimau!  karya Mochtar Lubis dengan tinjauan sosiologi sastra.

B. Data dan Sumber Data
Data adalah sumber semua informasi atau bahan mentah yang disediakan oleh alam yang harus dicari. Data merupakan bahan yang sesuai untuk memberi jawaban terhadap masalah yang dikaji (Subroto dalam Imron, 2003:  34).  Sutopo (2002:  35  - 47) menyatakan data adalah bagian yang penting dalam bentuk penelitian. Oleh karena itu, berbagai hal yang merupakan bagian dari keseluruhan proses pengumpulan data harus benar-benar dipahami oleh setiap peneliti. Adapun data penelitian ini berupa data lunak (soft data) yang berwujud kata, kalimat ungkapan yang terdapat dalam novel Harimau! Harimau!.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, dikelompokkan
menjadi dua: 
         1. Sumber data primer adalah hal -hal yang langsung diperoleh dari sumber data oleh penyelidik untuk keperluan penelitian (Surachmad, 1990:  130). Dalam penelitian ini sumber primernya berupa teks novel  Harimau! Harimau!  karya Mochtar Lubis,  terbit pada bulan Agustus 2003, cetakan keenam. Novel  Harimau! Harimau!  terbit pertama kali pada tahun 1992, diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, anggota IKAPI DKI Jakarta, jumlah halaman 214.
         2.  Sumber data sekunder adalah data yang terlebih dahulu dikumpulkan  oleh orang di luar penyidik, walaupun yang dikumpulkan itu sebenarnya data yang asli (Surachmad, 1990: 163). Dalam penelitian ini sumber data sekundernya berupa makalah, buku-buku, dan artikel yang mempunyai relevansi untuk memperkuat  argumentasi dan melengkapi hasil penelitian. 

 3. Teknik Pengumpulan Data
Menurut Subroto (1992 : 34) data adalah semua informasi atau bahan yang disediakan oleh alam (dalam arti luas) yang harus dicari atau dikumpulkan dan dipilih penulis.  Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa teknik pustaka, simak dan catat. sumber datanya untuk mengecek ulang terhadap sumber data ketika diperlukan dalam rangka analisis data (Subroto, 1992 :  42).



BAB III
PEMBAHASAN

Sebagai sebuah novel yang sarat dengan nilai sosial, novel harimau-harimau karya Moctar Lubis sangat cocok didekati dengan pendekatan sosiologi sastra.
Tuntutan terbesar dalam analisis sosilologi sastra adalah pendekatan terhadap pengarang, namun karena pengarang sudah berada dalam dunia lain saya cukup mendekati novel ini dengan karya sastra itu sendiri dan cerminan masyrakat saja. Hal yang saya lakukan bukanlah hal yang salah karena saya berlandaskan kepada beberapa pendapat para tokoh lainnya termasuk dalam hal ini yaitu Endraswara (2003: 79) dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Sementara, Faruk (1994: 1) memberi pngertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses-proses sosilal. Dan juga Ratna, Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain.
1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya.
2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi.
4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat, dan
5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
            Meski demikian, tidaklah sepenuhnya saya meninggalkan konsep pendekatan terhadap pengarang, sekali-kali saya akan mencoba menaikkan namanya sebagai hasil penemuan karakter Mochtar Lubis yang dapat saya simpulkan melalui novelnya atau karakter dia yang tercermin dalam novelnya. 
Menurut struktur pembangun karya sastra itu sendiri, saya akan menjelaskan masalah-masalah sosial yang tampak pada novel itu. Dalam novel tersebut tampak jelas permasalahan-permasalahan yang ada dalam kehidupan sosial yaitu masalah kepemimpinan, masalah pernikahan dan masalah agama. tiga masalah ini adalah hal pokok dalam kehidupan sosial, berikut penjelasannya.
1. Permasalahan tentang kepemimpinan yang merupakan penggambaran obsesi Mochtar Lubis dalam novel Harimau! Harimau! yang tercermin dalam novelnya yaitu, lemahnya tugas kepemimpinan dalam kelompok. Pemimpin tidak mampu mengatur serta membina hubungan yang lebih baik dengan para anggota atau bawahannya. Begitu pula, dia tidak mampu melindungi anggota kelompoknya dari serangan lawan. Dia hanya mementingkan keselamatan dan kepentingan diri sendiri.
Adapun yang menjadi penyebab terjadinya permasalahan demikian yaitu pemimpin bersifat lemah dan pura-pura. Kehebatan pemimpin hanya di mulut saja. Mulanya, memang dia dianggap sebagai pemimpin yang hebat dan berwibawa. Tetapi ketika dia dengan kelompoknya berada dalam suatu bahaya, dia tidak mampu menampakkan semuanya itu, sehingga anggota kelompok tidak hormat dan percaya lagi pada dirinya. Anggota kelompok berbalik menentang pemimpinnya.
Dalam novel Harimau! Harimau! ini yang menggambarkan permasalahan tentang kepemimpinan terlihat dari permasalahan yang dialami tokoh yang tergabung dalam kelompok pencari damar, yaitu pemimpim Wak Katok dengan para bawahan atau anggota kelompoknya, Pak Haji Rahmad, Pak Balam, Sutan, Sanip, Talib, dan Buyung. Wak Katok merupakan orang yang diangkat sebagai pemimpin oleh kelompoknya, kelompok pencari damar. Awalnya, dia diangkat sebagai pemimpin yang sangat dikagumi. Di kampungnya, dia juga menjadi pemimpin. Disamping itu, dia juga seorang guru pencak silat, ahli sihir, dan dukun besar. Karena itu, seluruh anggota rombongan pencari damar dan seluruh masyarakat segan dan hormat kepadanya.
Tetapi ketika rombongan itu mencari damar dan berburu di suatu hutan, mereka bertemu dengan seekor harimau yang sedang lapar mengejarnya. Ternyata Wak Katok tidak dapat mengusir harimau dan melindungi anggota kelompok dari bahayanya. Bahkan dia hanya mencari perlindungan untuk dirinya sendiri dan membiarkan saja anggota kelompoknya diancam harimau. Ia tidak dapat menunjukkan kewibawaan dan ketegasannya sebagai pemimpin yang memiliki ilmu sihir, ilmu silat, dan dukun besar yang disegani.
Setelah anggota rombongan menyaksikan sikap pemimpinnya yang demikian, mereka menyadari bahwa yang dianggapnya selama ini salah sama sekali. Wak Katok bukanlah pemimpin yang gagah dan berani tetapi lagaknya sajalah yang demikian.
Begitulah gambaran pemimipin kita saat ini, novel harimau! Harimau!  menggambarkannya dengan jelas sekali, pemimipin kita adalah pemimpin-pemimpin yang sok, yang hanya mementingka kepentingan pribadinya, mereka hanya mementingkan kekayaan individu tanpa pernah menoleh ke bawah barang sesaat, paling dia hanya melihat ke bawah manakala ada perlunya saja, itupun dilakukan semata-mata untuk kepentingan diri sendiri bukan untuk kepentingan yang di bawah, tapi karena dia atau mereka pintar di mulat, maka terlihat seperti  memenuhi kebutuhan masyarakat. Mereka turan ke masa ketika berkampanye, menyilatkan lidah, menebar janji, namun ketika masayarakat yang naik ke dia atau masyarakat yang mendatangi dia, dia pergi begitu saja, atau memanfaatkan orang lain untuk melindungi kekuasaannya. hal tersebut tergambar pada tokoh Wak Katok, yang dengan manis menceritakan kelebihannya, namun ketika ada masalah dia tidak mau mempedulikan nasib kelompoknya, senantiasa di memilih tempat yang paling aman dengan memanfaatkan orang lain dengan akal liciknya.
Kebanyakan dari pemimipin kita sekarang ini, berkarekter seperti karekter Wak Katok. sedikit adari mereka yang betul-betul menjiwai sifat kepemimpinan, namun hasrat dan nafsu setan yang tinggi, mengalahkan daya pikirnya. sehingga mereka ingin jabatan yang tinggi, harta yang melipah, kepuasan lahir dan batin yang tak terbatas, sehingga menggunakan mulut untuk menutupi semua kelemahannya dan senatiasa menebar kelebihan yang dibuat-buat. Sebetulnya, pemimpin-pemimpin kita adalah orang-orang lemah dan pura-pura, terbukti ketika ada perang Di Poso, di Papua, di Kalimtan, pemimpin kita hanya bisa melihat tidak berani menghela, mengapa? karena dia lemah dan pura-pura kuat. Ketika kekayaan kita dirambah oleh Amerika oleh Negara Luar, tambang emas di Papua, tambang emas di Sumbawa, dan SDA di seluruh nusantara, tidak bisa kita nikmati, kita hanya mendapatkan 0,xx persen, itu kenapa? karena pemimpin kita yang lemah dan pura-pura pintar. Ketika ada Tsunami, Lumpur Lapindo, gunung meletus, banjir, gempa bumi, pemerintah tidak mampu menangni kemaslahatan atau keselamatan korban, mengapa karena pemimpin kita lemah dan pura-pura dermawan. Masih banyak lagi kebobrokan pemimpin-pemimpibn kita yang tidak bisa saya tulis di sini, namun hanya sebagai gambaran kecil saja bagi kita supaya jangan mudah terlena dengan bau mulut busuk mereka. Nah tugas kita sekarang ini setelah kita tahu kemahan-kelemahan mereka adalah memilih dan memilah pemimpin yang benar-benar kuat dan bersih.
Kemampuan seorang pemimpin membawahi bawahannya sangat tergantung kepada kewibawaannya. Yang paling menentukan untuk tegaknya kewibawaan yaitu sikap dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Pemimpin yang berwibawa tentulah senantiasa mampu melindungi dan menyelamatkan anggotanya dari segala macam bahaya. Bila perlu dialah yang lebih dulu turun untuk mengatasinya. Tetapi hal itulah yang tidak dimiliki oleh Wak Katok. Tidak salah jika para bawahannya tidak simpati dan percaya lagi pada kepemimpinannya atau berbalik menentangnya.
Bila keadaannya telah seperti demikian, tentu hubungan antara pimpinan dan bawahan berubah menjadi hubungan lawan dengan lawan serta jatuh- menjatuhkan. Akibatnya tujuan kelompok semula yang telah direncanakan bersama-sama gagal mencapai tujuan. Begitulah yang terjadi antara pemimpin Wak Katok dengan para anggota bawahannya. Mereka terlibat dalam suatu perkelahian yang membawa pembunuhan. Itulah akhir dari permasalahan tentang kepemimpinan dalam novel Harimau! Harimau! Pemimpin yang lemah atau pura-pura tidak akan berhasil memimpin kelompoknya.

2. Permasalahan tentang perkawinan yang merupakan penggambaran obsesi Mochtar Lubis dalam novel Harimau! Harimau! yaitu tidak adanya kebahagiaan dalam perkawinan. Perkawinan diartikan sebagai sesuatu yang tidak perlu dikaitkan dengan dasar-dasar, nilai-nilai, dan norma-norma tertentu. Ia boleh saja dibentuk atau ditiadakan sekiranya kedua pasangan berkeinginan untuk itu. Jadi kehadiran lembaga perkawinan tidak ada artinya, tidak perlu adanya. Calon suami dan calon istri boleh saja membentuk suatu ikatan perkawinan jika mereka berdua berkeinginan untuk itu. Begitu pula terhadap pasangan suami istri, mereka boleh memutuskan ikatan perkawinannya jika mereka tidak bersesuaian lagi tanpa melalui suatu tatanan nilai-nilai atau norma-norma tertentu.
Latar belakang atau penyebab tidak adanya kebahagiaan dalam perkawinan karena suami sudah tua dan “lemah”, suami sibuk dan lama berada di luar rumah dan keterbatasan perekonomian suami dalam mencukupi kebutuhan rumah tangga.
Akibat dari tidak adanya kebahagiaan dalam perkawinan dapat menimbulkan berbagai macam fenomena sosial. Baik yang berasal dari dalam diri, rumah tangga, maupun masyarakat. Dari dalam diri, seperti terjadinya berbagai macam gejala kejiwaan; berupa rasa benci, dendam, stress, dan sebagainya.Dari dalam rumah tangga, berupa pertengkaran, penyelewengan, dan sebagainya. Dari dalam masyarakat, lebih banyak lagi, di samping terbawa yang datang dari dalam diri dan rumah tangga, ditambah dengan sikap mengasingkan diri, meracuni diri, pemberontakan, dan sebagainya.
Dari sekian banyaknya permasalahan tentang tidak adanya kebahagiaan dalam perkawinan, yang merupakan bagian akibat permasalahan dari obsesi Mochtar Lubis dalam novel Harimau! Harimau! yaitu timbulnya kebencian dan penyelewengan istri terhadap suami.
Untuk memperjelas dan membuktikan tentang permasalahan perkawinan yang merupakan obsesi Mochtar Lubis dalam novel Harimau! Harimau! yaitu tidak adanya kebahagiaan dalam perkawinan. Perkawinan yang tidak menjanjikan kebahagiaan, malah kadang-kadang sebaliknya. Besar dan kecilnya kebahagiaan dalam suatu perkawinan tergantung dari dasar, tujuan, dan proses pelaksanaan. Jika diwudkan dengan latar belakang yang tegas, tujuan yang jelas, serta dengan proses yang mendalam maka semakin besarlah nilai dan arti kebahagiaan. Tetapi, jika sebaliknya maka semakin kecillah nilai dan arti kebahagiaan. Penyebab terjadinya permasalahan tentang tidak adanya kebahagiaan dalam perkawinan dalam novel Harimau! Harimau! yaitu tidak jelasnya dasar dan tujuan perkawinan yang sesungguhnya. Perkawinan bukanlah merupakan manifestasi dari kerelaan dan rasa saling membutuhkan tetapi dilatarbelakangi oleh keterpaksaan.
Jika suatu perkawinan seperti demikian, sesudahnya banyaklah hal-hal yang dapat meruntuhkan kebahagiaan, yang pada mulanya tidaklah dapat dianggap sebagai penyebabnya. Yang termasuk pada kategori ini seperti usia. Faktor inilah yang menjadi penyebab kedua terjadinya permasalahan perkawinan dalam novel Harimau! Harimau! Suami sudah tua sehingga istri bosan dan benci pada tingkah dan perangainya. Sehingga puncak dari keadaan itu, akhirnya timbullah penyelewengan yang dilakukan oleh istri.
Adapun tokoh cerita yang mendukung permasalahan ini, yaitu Siti Rubyah dengan Wak Hitam. Kedua tokoh ini tidak berbahagia dalam perkawinannya, terutama bagi Rubyah. Akibat dari perkawinan yang tidak membawa kebahagiaan, akhirnya menimbulkan sifat ketidaksetiaan pada diri Siti Rubyah. Dia tidak lagi menjadikan suaminya sebagai tempat untuk mencurahkan segala kasih sayangnya.
Karena Rubyah tidak mendapatkan layanan sebagai seorang istri dari Wak Hitam, suaminya maka timbullah di dalam dirinya usaha untuk mendapatkan hal itu dari Buyung dan Wak Katok yang singgah di ladangnya. Begitulah akhir dari permasalahan tentang perkawinan yang dialami oleh Wak Hitam dan Siti Rubyah.

3. Masalah selanjutnya yaitu masalah agama. Dalam konteks ini adalah Islam, namun bukanlah yang dimaksudkan oleh Moctar Lubis berkisar pada Islam saja. Hanya, Islam digunakan sebagai sample dari seluruh agama terhadap kehidupan sosial, sebab semua agama memiliki penganut yang tidak taat terhadap agamanya. Di samping itu Moctar Lubis juga sorang Muslim sehingga dalam novel menaikkan agama Islam hal ini juga secara tidak langsung merupakan sebuah pencerminan terhadap dirinya.
Islam akan memberikan upah atau imbalan terhadap penganutnya yang taat, begitu sebaliknya, akan memberikan ganjaran atau balasan terhadap penganutnya yang tidak taat, baik di dunia maupun akhirat (dan saya kira konsep, ini pun dimilki oleh agama lain). Sebuah pencerminan dalam novel itu adalah menurut pengakuan Pak Balam, harimau yang mengejar-ngejar mereka adalah harimau kiriman Tuhan akibat dari perbuatan salah mereka selama ini. Dan mungkin secara tidak langsung memang benar adanya pengakuan itu, sebab mereka yang selamat dari terkaman harimau adalah mereka yang sadar akan salahnya. Islam pun berkata demikian bahwa orang yang salah kemudian bertaubat maka Tuhan akan membebaskan dia dari dosanya.  Demikianlah masalah sosial yang tercantum dalam Novel itu.

4. Masalah Individualisme tinggi
Individualisme tinggi merugikan diri sendiri juga lebih dari itu yaitu merugikan kehidupsan sosial. Pak Haji misalnya yang tidak peduli lagi terhadap kehidupan sosial disekelilingnya sebab senatiasanya, dari sekian pengalamannya yang telah mengelilingi dunia dia menemukan orang-orang yang berlaku tidak baik, sehingga dia menyimpulkan bahwa semua manusia itu bejat. Akibatnya membuat dirinya tidak mau percaya terhadap manusia lagi dan senatiasa memisahkan diri dari  kehidupan bersosial. Dia terlalu cepat mengambil keputusan yang bakal merugikan dirinya, dia tidak berfikir bagaimana suatu saat dia membutuhkan manusia untuk melindunginya.
Pak Haji yang tidak mau memikirkan rekan-rekannya, yang tidak mau peduli terhadap pemimpinnya akhirnya sengsara juga akibat dari perilakunya itu, sebab dia sudah tau ada kejanggalan-kejanggalan pada diri Wak Katok yang bakal merugikan kelompoknya, namun hal tersebut sama sekali tidak mau diindahkannya. Hal seperti ini tidaklah baik adanya.
Syukur dia mau menyadari bahwa apa yang selama ini dia pegang sebagai konsep hidupnya itu adalah “salah”, karena memang hakikinya manusia tidak akan pernah bisa hidup tanpa manusia lainnya. Amanat inilah yang sebagian ingin pengarang sampaikan dalam novelnya.  
Contoh lain dari ini yaitu masalah Buyung yang menyimpan dendam pada Wak Katok. bahwasanya perasaan dendam terhadap sesorang itu tidaklah baik adanya karena itu akan merugikan orang lain dan juga diri sendiri. Rasa dendam tidak akan pernah dapat menyelesaikan masalah namun akan terus-menerus menambah masalah. oleh karena itu Mochtar Lubis lewat tokoh Pak Haji mengamanatkan kepada Buyung dan senatiasa kepada kita semua bahwa Dengan ucapannya .... ingatlah hidup orang lain adalah hidup kalian juga... sebelum kalian membunuh harimau yang buas itu, bunuhlah lebih dahulu harimau dalam hatimu sendiri...engkau tak dapat hidup sendiri... cintailah manusia... bunuhlah harimau dalam hatimu.”Demikianlah masalah sosial yang ada dalam novel ini.
Dan terakhir, Sanip dan Sutan yang mempunyai kebiasaan mencuri jelas, merugikan masyarakat. Dalam kehidupan kita tokoh Sanip dan Sutan sangat banyak sekali, Mencuri kemudian di lanjutkan dengan membunuh karena membunuh adalah jalan pintas untuk untuk lari dari kejaran dan menuju keselamatan pencuri, maka, Akhirnya dari keluarga tidak terima dengan nasih keluarganya yang dicuri kemudian dibunuh, pihak keluarga menaruh dendam, terus berkelanjutan, maka masalah tidak selesai-selasai. Begitulah sekelumit gambaran kehidupan sosial dalam novel itu.    

PENUTUP

Kesimpulan
Pemimpin yang lemah dan pura-pura tidak akan pernah bisa mencapai tujuan yang diinginkan oleh kelompok, yang muncul malah pertikaian anatara pemimpin dan yang dipimpin. Pernikahan tanpa landasan cinta tidak akan pernah menghadirkan sebuah kebahgian dalam rumah tangga namun yang terjadi malah sebaliknya yaitu kesengsaraan salah seorang diantara keduanya dan jika terus berlanjut,  berikut akan  diemban oleh keturunannya. Perbuatan dosa dalam beragama akan menyengsarakan diri sendiri baik didunia maupun di akhirat. Juga hal tersebut berakibat pada orang lain. Dan individualisme tinggi sangat iorang lain dalam kehidupan sosial. Jadi, hal-hal tersebut adalah hal-hal yang bakal merugikan kehidupan sosial.

Saran
Kita hendaknya melestraikan kehidupan sosial bersama-sama karena bagaimanapun kita tidak akan bisa terlepas dari orang lain. Kita adalah makhluk sosial maka sudah sepantasnya kita akan nerkecimpung untuk menjaga hubungan-hubungan vertikal maupun horizontal dengan memperhatikan borma-norma konvensional. 




DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Mochtar. 2003. Harimau! Harimau!. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
http://www.sastra-indonesia.com/2009/09/luasnya-wilayah-sosiologi-sastra/
http://sebuahcatatansastra.blogspot.com/2009/02/sosiologi-sastra.html
http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg47697.html
http://pdf-search-engine.com/online-pdf-

Damono, 1989: 3-4
Teeuw (1984- 220)
Subroto dalam Imron, 2003:  34
Sutopo (2002:  35  - 47)
Surachmad, 1990:  130).
Subroto (1992 : 34)
Faruk (1994: 1)
Endraswara(2003: 79)
Ratna (2003: 2)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright: Blog Trik dan Tips - http://blogtrikdantips.blogspot.com/2012/04/cara-membuat-burung-terbang-twitter.html#ixzz1wvdLqFy3 Tolong sertakan link ini jika mengkopi artikel diatas. Terima kasih